Hanya sebuah refleksi dangkal
Masih terlalu dini rasanya untuk bercerita banyak hal atau mengomentari berbagai permasalahan yang secara silih berganti datang dan memaksa otak kita untuk berfikir. aku bukan komentator ataupun kritikus-kritus seperti kebanyakan yang hanya mampu berkoar-koar dan akhirnya kandas pada sebuah realita yang ternyata tidak sama dengan apa yang pernah diucapkan.
memang bicara saja itu gampang, tapi esensi dari apa yang kita bicarakan ataupun pembuktian dari hasil yang keluar dari mulut kita ini memerlukan pertanggung jawaban yang tidak mudah.
banyak contoh disekitar kita yang sebenarnya tanpa kita sadari telah menggambarkan bahwa tingkat ketidak hati-hatian dalam berbicara mampu menyebabkan suatu hal berubah lalu menimbulkan dampak yang tidak baik.
apa yang menjadi ucapan kita secara langsung ataupun tidak pasti akan dinilai oleh lawan bicara kita. boleh jadi saat itu kita tengah mendapati lawan bicara yang sepaham dengan apa yang kita ucapkan, sehingga apa yang menjadi topik perbincangan kala itu menjadi mengalir begitu saja. namun apabila ternyata tanpa sengaja apa yang kita katakan justru menyinggung sisi sensitif dari orang tersebut, maka bisa dikatakan kita telah berdosa atas apa yang telah kita lakukan.
Aku sedikit menyinggung tentang ilmu komunikasi yang pernah aku pelajari, bahwa sebuah komunikasi akan berjalan dengan baik jika terdapat lima unsur di dalamnya tanpa adanya unsur yang ke-enam.
Who-What-Channel-Whom- dan Effect. sedangkan unsur yang ke-enam itu sendiri adalah Noise. sebuah model transmisi yang dicetuskan oleh Lasswell pada tahun 1948.
Adanya noise atau gangguan inilah yang biasanya menyebabkan miscommunication terjadi sehingga menghasilkan input yang salah pada effect. namun menurut refleksi dangkalku miscommunication juga tidak hanya bisa terjadi dikarenakan adanya gangguan saja. tingkat sensitifitas dari seoarang reciever ataupun "Whom" juga mempengaruhi terjadinya kesalahpahaman dalam sebuah komunikasi.
Sebagai seseorang yang masih terus perlu banyak belajar ini, aku mengamati berbagai kejadian disekitarku lalu kemudian menjadikannya sebagai bahan pembelajaran untuk diriku sendiri.
bukan hal yang mudah untuk merefleksikan setiap kejadian dari berbagai jenis sumber yang berbeda. otak secara tidak langsung akan dituntunt untuk menilai mana hal-hal yang perlu diambil dan mana yang harus disaring lagi. Televisi, Internet, Jejaring sosial, serta lingkungan sekitar memberikan input yang tidak sedikit sebagai bahan pertimbangan.
Sebagai penikmat sekaligus pengguna media aku juga menyaksikan bagaimana sebuah pembodohan publik sering kali terjadi dan tanpa sadar mempengaruhi pola pikir kita. tidak menerima mentah-mentah akan apa yang kita lihat atau yang kita baca seharusnya menjadi sikap yang harus dilakukan.
dulu salah satu dosenku pernah mengatakatan, harusnya "good news is a good news". tapi sekarang yang terjadi dan meniliki nilai jual dalam pandangan awam publik adalah "bad news is a good news"
lagi-lagi kita memang harus dituntut cerdas dalam menerima setiap input yang masuk, agar fungsi otak dalam bertindak kedepannya menjadi lebih baik.
memang bicara saja itu gampang, tapi esensi dari apa yang kita bicarakan ataupun pembuktian dari hasil yang keluar dari mulut kita ini memerlukan pertanggung jawaban yang tidak mudah.
banyak contoh disekitar kita yang sebenarnya tanpa kita sadari telah menggambarkan bahwa tingkat ketidak hati-hatian dalam berbicara mampu menyebabkan suatu hal berubah lalu menimbulkan dampak yang tidak baik.
apa yang menjadi ucapan kita secara langsung ataupun tidak pasti akan dinilai oleh lawan bicara kita. boleh jadi saat itu kita tengah mendapati lawan bicara yang sepaham dengan apa yang kita ucapkan, sehingga apa yang menjadi topik perbincangan kala itu menjadi mengalir begitu saja. namun apabila ternyata tanpa sengaja apa yang kita katakan justru menyinggung sisi sensitif dari orang tersebut, maka bisa dikatakan kita telah berdosa atas apa yang telah kita lakukan.
Aku sedikit menyinggung tentang ilmu komunikasi yang pernah aku pelajari, bahwa sebuah komunikasi akan berjalan dengan baik jika terdapat lima unsur di dalamnya tanpa adanya unsur yang ke-enam.
Who-What-Channel-Whom- dan Effect. sedangkan unsur yang ke-enam itu sendiri adalah Noise. sebuah model transmisi yang dicetuskan oleh Lasswell pada tahun 1948.
Adanya noise atau gangguan inilah yang biasanya menyebabkan miscommunication terjadi sehingga menghasilkan input yang salah pada effect. namun menurut refleksi dangkalku miscommunication juga tidak hanya bisa terjadi dikarenakan adanya gangguan saja. tingkat sensitifitas dari seoarang reciever ataupun "Whom" juga mempengaruhi terjadinya kesalahpahaman dalam sebuah komunikasi.
Sebagai seseorang yang masih terus perlu banyak belajar ini, aku mengamati berbagai kejadian disekitarku lalu kemudian menjadikannya sebagai bahan pembelajaran untuk diriku sendiri.
bukan hal yang mudah untuk merefleksikan setiap kejadian dari berbagai jenis sumber yang berbeda. otak secara tidak langsung akan dituntunt untuk menilai mana hal-hal yang perlu diambil dan mana yang harus disaring lagi. Televisi, Internet, Jejaring sosial, serta lingkungan sekitar memberikan input yang tidak sedikit sebagai bahan pertimbangan.
Sebagai penikmat sekaligus pengguna media aku juga menyaksikan bagaimana sebuah pembodohan publik sering kali terjadi dan tanpa sadar mempengaruhi pola pikir kita. tidak menerima mentah-mentah akan apa yang kita lihat atau yang kita baca seharusnya menjadi sikap yang harus dilakukan.
dulu salah satu dosenku pernah mengatakatan, harusnya "good news is a good news". tapi sekarang yang terjadi dan meniliki nilai jual dalam pandangan awam publik adalah "bad news is a good news"
lagi-lagi kita memang harus dituntut cerdas dalam menerima setiap input yang masuk, agar fungsi otak dalam bertindak kedepannya menjadi lebih baik.
*ditulis pada saat tiba-tiba ingat kalau masih menjadi mahasiswa
semoga tulisan ini bukan tugas kuliah ya hehe ^^
ReplyDeleteTulisannya masih ngambang nih Nia, belum ada solusi yang ditawarkan penulis ^^
Hahaha... mirip tugas kuliah ya? ceritanya tiba-tiba emang lagi ingat kalau masih jadi mahasiswa mas. kalau udah ga ingat, nulis yang lain lagi. :D
ReplyDeletesengaja emang ga ngasi solusi, makanya cuma bilang kalau itu sebatas refleksi dangkal.
belom berani nyeramahin orang, saya sendiri aja masih belom benar ^^
anyway, makasih kritikannya mas... biar terus belajar.
*tulisan yg lain silahkan di kritik. pake cabe ya. hehe
Hahaha ya 11-12 ama tugas kuliah yang seolah berhasil disamarkan dengan rapi ^^
DeleteOwg sengaja ya, termasuk sengaja juga ya untuk 2 paragraf terakhir menjadi gak koheren hehe ^^
Haha, owg gitu ya? Lukisan Van Googh bisa merefleksikan siapa itu Van Googh, tulisan Tere Liye bisa menjelaskan siapa itu Tere Liye ^^
Haha siap. Tapi sayang cabe di Indonesia sudah gak ada yang pedas, you know why? Hampir rata-rata petani memanen cabe mereka terlalu cepat. Heemm and i think that was Just about like you Nia, ^^
Nah itu dia makanya mas... saya masih harus banyak belajar nulis lagi emang.
ReplyDeleteSenangnya dapat kritikan :) :)
Ooo... saya ngerti ni maksud kalimat pesan yang terakir. hahaiii..