Minoritas, seharusnya?
Bagaimana rasanya jadi minoritas?
Sebuah pertanyaan yang sudah pasti hanya bisa di jawab ketika kita telah berada dalam lingkup tersebut. Lingkungan yang asing, orang-orang asing, pergaulan asing, serta berbagai bentuk peraturan yang berbeda sehingga ikut menjadikannya asing.
Ada tantangan tersendiri bagi mereka-mereka yang termasuk kedalam golongan minoritas ini. bagaimana mereka memanage kehidupan mereka dalam ruang lingkup yang sebenarnya hal itu bukanlah jati diri mereka sesungguhnya. sebagai subjek yang berada di lingkup ini, mereka sangat dituntut untuk bisa menyeimbangkan semuanya agar apa yang menjadi peraturan dan batas keyakinan bisa berjalan beriringan. namun kondisinya jika itu sudah menyangkut keyakinan, manakah yang harus didahulukan?
Aku menjadi bagian itu.
meski penduduk muslim yang ada di negara Belanda saat ini jumlahnya semakin bertambah, tidak bisa dipungkiri bahwa feel like a minority di negara ini masih bisa aku rasakan. tidak adanya hari libur atau tanggal merah di hari-hari besar Islam menjadi contoh paling mudah ku temui. ini sangat wajar, aku memang sedang berada di negara non-muslim sekarang. jumlah penduduk muslim di negara ini juga masih kalah dengan jumlah penduduk non muslim atau juga mereka-mereka yang sudah terlanjur menjadi Atheis. kebanyakan dari masyarakat muslim di sini hanyalah para imigran-imigran yang pada akhirnya memutuskan untuk bekerja dan menetap di sini.
Sejauh aku menjelajahi negara kincir angin ini, aku hanya bisa menemukan beberapa masjid. masih dalam hitungan jari dan dalam ukuran yang terbilang kecil sebagai tempat ibadah. tapi alhamdulillah... setidaknya negara ini tidak memeberi batasan ekstrim untuk mereka-mereka yang memiliki kepercayaannya sendiri.
di sini aku juga masih bisa menggunakan jilbab dengan bebas. mungkin akan menjadi berbeda dan sangat sulit jika aku menjadi warga penduduk Prancis meski itu hanya untuk waktu 1 tahun.
dari apa yang aku ketahui, pemerintah Prancis mengeluarkan peraturan yang terbilang cukup mengintimidasi masyarakat muslim, khususnya bagi wanita yang berjilbab. perempuan muslim yang berdomisili di negara tersebut akan sulit untuk mendapatkan haknya sebagai seorang muslimah yang ingin menutup aurat.
Pemerintah Prancis mengeluarkan larangan bagi wanita menggunakan jilbab/cadar untuk beraktivitas di perkantoran atau bahkan hanya untuk mereka-mereka yang mengantar atau menunggu anaknya di sekolah.
Sebagai seorang wanita muslim yang juga berjilbab, aku melihat bahwa hal ini tentu saja membatasi ruang gerak wanita berjilbab untuk bisa berkarya seperti wanita-wanita lain pada umumnya.
Oktober 2013 adalah awal perjalananku ke Paris, Prancis. selama berada di sana, aku memang mendapati sedikit sekali perempuan yang berjilbab di sekitar kota cantik itu. peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah di sana sepertinya berjalan dengan keras. namun sisi lain dari apa yang aku lihat, tidak semua orang Prancis memandang seorang wanita muslim berjilbab itu menakutkan ataupun berbahaya.
host surfing tempat aku menginap selama berada di sana adalah seorang gadis Prancis. sebelum aku menginap di sana, dia sempat memberitahuku tentang keadaan rumahnya dan bercerita tentang gaya hidupnya lalu kemudian bertanya apakah itu tidak apa-apa untukku karena aku seorang wanita berjilbab? aku memberikan pendapatku. secara garis besar aku hanya menggambarkan bahwa sejatinya Islam bukanlah tentang suatu ajaran yang keras dan terlalu "memandang lurus" dalam suatu hal. mungkin beberapa kasus telah menjadikan Islam terlihat "berbahaya" dimata orang-orang non muslim, tapi tetap saja kita tidak bisa menjudge suatu kelompok hanya dari satu aspek atau bahkan satu cara pandang yang justru salah. sama halnya dengan bagaimana seorang muslim memandang non-muslim seharusnya.
kami sempat terlibat obrolan tentang Islam saat aku sudah berada di rumahnya. dia juga bertanya beberapa hal kepadaku. dari apa yang aku lihat malam itu, dia bukanlah orang yang "keras" dalam mengartikan kepercayaan yang dianutnya. begitu juga sebaliknya, dia tidak menganggapku sebagai sosok wanita berjilbab yang menakutkan.
See... tidak semua warganya berpandangan sama dengan apa yang dipandang oleh pemerintah Prancis yang pada akhirnya sampai memutuskan untuk mengeluarkan larangan berjilbab bagi penduduknya yang muslim. dari apa yang telah mereka lakukan justru malah menghasilkan sebuah tanda tanya bagi masyarakat dunia. mengapa mereka bisa bersikap demikian?
Aku jadi ingat tentang obrolan singkat yang aku lakukan dengan salah seorang teman Indonesiaku di Belanda. dia sempat bertanya kepadaku. "kamu pakai jilbab di sini?"
dengan pasti aku menjawab "iya". lalu kemudian dia bercerita kepadaku sambil malu-malu mengatakan bahwa pertama kali datang ke negara ini dia juga berjilbab, cuma karena tidak betah mendengar omongan para tetangga di sekitar rumahnya, akhirnya dia membuka jilbabnya.
saat itu sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa untuk apa perduli omongan orang lain kalau apa yang kita lakukan itu adalah sesuatu yang kita yakini baik. tapi aku mengurungkan niatku, toh balik lagi, berjilbab itu juga bukanlah suatu paksaan, tapi kesadaran.
memang cukup sulit untuk bersikap biasa saja saat kita baru berada di lingkungan asing yang memang diluar dari lingkungan asli kita. seperti awal kedatanganku dulu, saat aku hanya memiliki teman-teman non-muslim disekitarku. meski harus menunggu di luar gereja saat mereka tengah beribadah, toh setelah mereka selesai aku masih bisa berbaur dan jalan dengan mereka.
Menjadi seorang minoritas tentunya bukanlah sebuah kesalahan karena berada di lingkungan yang tidak sewajarnya atau terlihat berbeda. karena setiap orang berhak mendapatkan haknya untuk hidup, terlepas itu dalam lingkungan yang memang asing. hanya tinggal bagaimana kita saja membawa diri dan membentengi diri kita untuk bisa membaur satu sama lain meski tanpa meninggalkan atribut kepercayaan yang kita miliki.
Iya kan?? :)
Sebuah pertanyaan yang sudah pasti hanya bisa di jawab ketika kita telah berada dalam lingkup tersebut. Lingkungan yang asing, orang-orang asing, pergaulan asing, serta berbagai bentuk peraturan yang berbeda sehingga ikut menjadikannya asing.
Ada tantangan tersendiri bagi mereka-mereka yang termasuk kedalam golongan minoritas ini. bagaimana mereka memanage kehidupan mereka dalam ruang lingkup yang sebenarnya hal itu bukanlah jati diri mereka sesungguhnya. sebagai subjek yang berada di lingkup ini, mereka sangat dituntut untuk bisa menyeimbangkan semuanya agar apa yang menjadi peraturan dan batas keyakinan bisa berjalan beriringan. namun kondisinya jika itu sudah menyangkut keyakinan, manakah yang harus didahulukan?
Aku menjadi bagian itu.
meski penduduk muslim yang ada di negara Belanda saat ini jumlahnya semakin bertambah, tidak bisa dipungkiri bahwa feel like a minority di negara ini masih bisa aku rasakan. tidak adanya hari libur atau tanggal merah di hari-hari besar Islam menjadi contoh paling mudah ku temui. ini sangat wajar, aku memang sedang berada di negara non-muslim sekarang. jumlah penduduk muslim di negara ini juga masih kalah dengan jumlah penduduk non muslim atau juga mereka-mereka yang sudah terlanjur menjadi Atheis. kebanyakan dari masyarakat muslim di sini hanyalah para imigran-imigran yang pada akhirnya memutuskan untuk bekerja dan menetap di sini.
Sejauh aku menjelajahi negara kincir angin ini, aku hanya bisa menemukan beberapa masjid. masih dalam hitungan jari dan dalam ukuran yang terbilang kecil sebagai tempat ibadah. tapi alhamdulillah... setidaknya negara ini tidak memeberi batasan ekstrim untuk mereka-mereka yang memiliki kepercayaannya sendiri.
di sini aku juga masih bisa menggunakan jilbab dengan bebas. mungkin akan menjadi berbeda dan sangat sulit jika aku menjadi warga penduduk Prancis meski itu hanya untuk waktu 1 tahun.
dari apa yang aku ketahui, pemerintah Prancis mengeluarkan peraturan yang terbilang cukup mengintimidasi masyarakat muslim, khususnya bagi wanita yang berjilbab. perempuan muslim yang berdomisili di negara tersebut akan sulit untuk mendapatkan haknya sebagai seorang muslimah yang ingin menutup aurat.
Pemerintah Prancis mengeluarkan larangan bagi wanita menggunakan jilbab/cadar untuk beraktivitas di perkantoran atau bahkan hanya untuk mereka-mereka yang mengantar atau menunggu anaknya di sekolah.
Sebagai seorang wanita muslim yang juga berjilbab, aku melihat bahwa hal ini tentu saja membatasi ruang gerak wanita berjilbab untuk bisa berkarya seperti wanita-wanita lain pada umumnya.
Oktober 2013 adalah awal perjalananku ke Paris, Prancis. selama berada di sana, aku memang mendapati sedikit sekali perempuan yang berjilbab di sekitar kota cantik itu. peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah di sana sepertinya berjalan dengan keras. namun sisi lain dari apa yang aku lihat, tidak semua orang Prancis memandang seorang wanita muslim berjilbab itu menakutkan ataupun berbahaya.
host surfing tempat aku menginap selama berada di sana adalah seorang gadis Prancis. sebelum aku menginap di sana, dia sempat memberitahuku tentang keadaan rumahnya dan bercerita tentang gaya hidupnya lalu kemudian bertanya apakah itu tidak apa-apa untukku karena aku seorang wanita berjilbab? aku memberikan pendapatku. secara garis besar aku hanya menggambarkan bahwa sejatinya Islam bukanlah tentang suatu ajaran yang keras dan terlalu "memandang lurus" dalam suatu hal. mungkin beberapa kasus telah menjadikan Islam terlihat "berbahaya" dimata orang-orang non muslim, tapi tetap saja kita tidak bisa menjudge suatu kelompok hanya dari satu aspek atau bahkan satu cara pandang yang justru salah. sama halnya dengan bagaimana seorang muslim memandang non-muslim seharusnya.
kami sempat terlibat obrolan tentang Islam saat aku sudah berada di rumahnya. dia juga bertanya beberapa hal kepadaku. dari apa yang aku lihat malam itu, dia bukanlah orang yang "keras" dalam mengartikan kepercayaan yang dianutnya. begitu juga sebaliknya, dia tidak menganggapku sebagai sosok wanita berjilbab yang menakutkan.
See... tidak semua warganya berpandangan sama dengan apa yang dipandang oleh pemerintah Prancis yang pada akhirnya sampai memutuskan untuk mengeluarkan larangan berjilbab bagi penduduknya yang muslim. dari apa yang telah mereka lakukan justru malah menghasilkan sebuah tanda tanya bagi masyarakat dunia. mengapa mereka bisa bersikap demikian?
Aku jadi ingat tentang obrolan singkat yang aku lakukan dengan salah seorang teman Indonesiaku di Belanda. dia sempat bertanya kepadaku. "kamu pakai jilbab di sini?"
dengan pasti aku menjawab "iya". lalu kemudian dia bercerita kepadaku sambil malu-malu mengatakan bahwa pertama kali datang ke negara ini dia juga berjilbab, cuma karena tidak betah mendengar omongan para tetangga di sekitar rumahnya, akhirnya dia membuka jilbabnya.
saat itu sebenarnya aku ingin mengatakan bahwa untuk apa perduli omongan orang lain kalau apa yang kita lakukan itu adalah sesuatu yang kita yakini baik. tapi aku mengurungkan niatku, toh balik lagi, berjilbab itu juga bukanlah suatu paksaan, tapi kesadaran.
memang cukup sulit untuk bersikap biasa saja saat kita baru berada di lingkungan asing yang memang diluar dari lingkungan asli kita. seperti awal kedatanganku dulu, saat aku hanya memiliki teman-teman non-muslim disekitarku. meski harus menunggu di luar gereja saat mereka tengah beribadah, toh setelah mereka selesai aku masih bisa berbaur dan jalan dengan mereka.
Menjadi seorang minoritas tentunya bukanlah sebuah kesalahan karena berada di lingkungan yang tidak sewajarnya atau terlihat berbeda. karena setiap orang berhak mendapatkan haknya untuk hidup, terlepas itu dalam lingkungan yang memang asing. hanya tinggal bagaimana kita saja membawa diri dan membentengi diri kita untuk bisa membaur satu sama lain meski tanpa meninggalkan atribut kepercayaan yang kita miliki.
Iya kan?? :)
Comments
Post a Comment