Menemukan
Ini bukan menyerah. Yang kulakukan hanya bersikap pasrah. Sebab sekuat apapun usaha, kita tak pernah bisa lari dari takdirNya.
Aku masih membuka laman itu sesekali. Memperhatikan apakah kamu masih berada di situ atau tidak. Memastikan apakah bait-bait ranting yang patah itu masih kamu tuliskan atau tidak.
Sebab katamu, engkau tak pelaknya seperti itu. Rapuh, lalu patah.
Aku tak ingin benar-benar membuatmu demikian. Karena jika kamu patah, maka akupun akan ikut patah bersamamu. Meski daun seringkali lebih dulu lepas dari rantingnya, namun aku sungguh tak ingin demikian. Aku ingin membantumu, aku ingin menyelamatkanmu. Menghindar dari pijakan kaki-kaki tak bertuan yang tak pernah mau tahu tentang kita.
Tapi, menemukanmu itu kemustahilan. Aku seolah berjalan pada lorong gelap yang tak pernah ada ujungnya. Aku meraba-raba, berharap sesekali menemukan pegangan untuk sekedar beristirahat dari lelahnya perjalanan.
Aku takut terjatuh, apalagi jika muaranya adalah cinta. Yang celakanya itu terlihat seperti kamu.
Mengapa menemukanmu itu begitu berat?
Aku harus lebih banyak menguras perasaan. Harus jatuh berulang-ulang, berdebam, terhentak benda keras di kegelapan, hingga tak jarang tersesat yang sangat jauh. Kamu begitu sulit untuk ditemukan. dan Tuhan, tak sekalipun memberiku bocoran tentang keberadaanmu.
Mungkin mereka benar. Tak mencarimu akan membuatku lebih tenang, lebih berserah. Sebab kini kamupun mulai menjadi samar untuk sebuah tujuan. Kamu seperti sengaja membuat kabut pekat hadir diantara jarak pandangku. Padahal, usahaku untuk bertahan masih kusisakan pada perjalanan kali ini. Aku masih berusaha.
Jangan pernah menyalahkanku karena mencarimu. Sebab akupun tak pernah menyalahkanmu saat membuka pintu dan membiarkanku masuk. Aku hanyalah si pejalan. Yang senantiasa terusik saat bertemu sesuatu yang menakjubkan. Yang senantiasa terperangah saat melihat hal-hal baru dan menyenangkan.
Dan itu adalah kamu.
Bisakah nanti kita bertemu di persimpangan? Atau jika tidak, pada sebuah kedai kopi tepi jalan? Aku ingin menunjukkan padamu bahwa aku telah berusaha. Aku juga ingin memperlihatkan bahwa aku telah berjalan sejauh ini untuk mencari.
Sungguh, aku tak ingin mati penasaran. Itu saja.
Namun sepertinya mencarimu kini akan lebih kupermudah.
Aku akan bersikap pasrah dan tenang. Bahwa sejauh ini telah kuusahakan untuk mencari, tanpa tahu siapa yang seharusnya kucari. Bahwa hanya mengusahakan yang terbaik, tanpa tahu tentang yang terbaik.
Aku menemukanmu? Itu keniscayaan.
Aku masih membuka laman itu sesekali. Memperhatikan apakah kamu masih berada di situ atau tidak. Memastikan apakah bait-bait ranting yang patah itu masih kamu tuliskan atau tidak.
Sebab katamu, engkau tak pelaknya seperti itu. Rapuh, lalu patah.
Aku tak ingin benar-benar membuatmu demikian. Karena jika kamu patah, maka akupun akan ikut patah bersamamu. Meski daun seringkali lebih dulu lepas dari rantingnya, namun aku sungguh tak ingin demikian. Aku ingin membantumu, aku ingin menyelamatkanmu. Menghindar dari pijakan kaki-kaki tak bertuan yang tak pernah mau tahu tentang kita.
Tapi, menemukanmu itu kemustahilan. Aku seolah berjalan pada lorong gelap yang tak pernah ada ujungnya. Aku meraba-raba, berharap sesekali menemukan pegangan untuk sekedar beristirahat dari lelahnya perjalanan.
Aku takut terjatuh, apalagi jika muaranya adalah cinta. Yang celakanya itu terlihat seperti kamu.
Mengapa menemukanmu itu begitu berat?
Aku harus lebih banyak menguras perasaan. Harus jatuh berulang-ulang, berdebam, terhentak benda keras di kegelapan, hingga tak jarang tersesat yang sangat jauh. Kamu begitu sulit untuk ditemukan. dan Tuhan, tak sekalipun memberiku bocoran tentang keberadaanmu.
Mungkin mereka benar. Tak mencarimu akan membuatku lebih tenang, lebih berserah. Sebab kini kamupun mulai menjadi samar untuk sebuah tujuan. Kamu seperti sengaja membuat kabut pekat hadir diantara jarak pandangku. Padahal, usahaku untuk bertahan masih kusisakan pada perjalanan kali ini. Aku masih berusaha.
Jangan pernah menyalahkanku karena mencarimu. Sebab akupun tak pernah menyalahkanmu saat membuka pintu dan membiarkanku masuk. Aku hanyalah si pejalan. Yang senantiasa terusik saat bertemu sesuatu yang menakjubkan. Yang senantiasa terperangah saat melihat hal-hal baru dan menyenangkan.
Dan itu adalah kamu.
Bisakah nanti kita bertemu di persimpangan? Atau jika tidak, pada sebuah kedai kopi tepi jalan? Aku ingin menunjukkan padamu bahwa aku telah berusaha. Aku juga ingin memperlihatkan bahwa aku telah berjalan sejauh ini untuk mencari.
Sungguh, aku tak ingin mati penasaran. Itu saja.
Namun sepertinya mencarimu kini akan lebih kupermudah.
Aku akan bersikap pasrah dan tenang. Bahwa sejauh ini telah kuusahakan untuk mencari, tanpa tahu siapa yang seharusnya kucari. Bahwa hanya mengusahakan yang terbaik, tanpa tahu tentang yang terbaik.
Aku menemukanmu? Itu keniscayaan.
Comments
Post a Comment