#BLUE: The heart wants what it wants
"Akan berapa lama?" Aku bertanya penuh selidik pada sahabatku.
"Satu tahun. dan kini sudah tiga bulan semenjak kali terakhir aku mengetahuinya baik-baik saja"
"Kamu tahu dimana dia sekarang?"
Ia menggeleng. Helaan nafas berat itu terdengar menyertai betapa khawatirnya perasaan itu. Setidaknya itulah yang terlihat olehku.
Apa yang lebih berat dari berharap kepada yang tidak bisa memberi pengharapan.
Apa yang lebih sakit dari ketidakjelasan pada kepastian.
Aku memperhatikan raut wajahnya. Meski terlihat tegar, aku tahu betapa rapuhnya hati sahabatku kali ini. Ia yang tak pernah ingin menangisi apapun dalam hidupnya, nyatanya kalah juga. Bulir-bulir bening itu mulai muncul di penghujung mata sipitnya. Aku tahu hatinya sudah berkata lain dengan lidahnya. Sungguh ia bukanlah seorang pembohong yang handal menyembunyikan perasaannya.
"Boleh aku memelukmu?" Ia bertanya seketika.
Akupun mengangguk, mempersilahkannya untuk menumpahkan segala kegalauan hatinya di pundakku. Kudekap erat tubuh mungilnya. Jika sudah seperti ini, aku tak pernah mencoba untuk menanyakan apa-apa lagi kepadanya. Akan kubiarkan sampai ia sendiri yang akhirnya membuka mulut untuk bercerita.
Seketika pundak kiriku terasa dingin, Ada tetesan air yang jatuh disana. Ia menangis.
"Menangislah sahabat, luangkan sampai kamu merasa lega". Aku berkata lirih sambil mengusap punggungnya, berharap cara ini bisa sedikit lebih menenangkan.
Kini nafas berat itupun semakin jelas terdengar. Ia sesegukan menahan tangis yang sudah mulai membasahi bajuku lebih banyak.
"Aku bisa apa sekarang? Aku perempuan. Aku hanya bisa menunggu tanpa memulai apapun. Aku... Aku..." Ucapannya terhenti, ia tak berani meneruskan kata-katanya. Yang terlihat kini justru jilbab birunya sudah sama basahnya dengan bajuku.
Aku masih membiarkan ia menangis dalam pelukanku. Aku rasai getar hatinya. Sebagai seorang sahabat yang sudah lebih banyak tahu tentang 'kebohongannya' selama ini, aku mulai dibuat geram.
"Sahabatku, mungkin kamu bisa terus-terusan membohongiku, juga orang lain, juga dia. Tapi kamu tidak akan pernah bisa membohongi dirimu sendiri sampai kapanpun itu. Cobalah untuk jujur pada hatimu sendiri. Your heart wants what it wants, dear."
Seketika dekapan itu ia lepas dari tubuhku. Tangannya bergerak cepat untuk mengusap tetesan air mata yang ada di pipinya. Namun jilbab biru favoritenya itu telah sempurna basah menyimpan bukti kejujuran perasaannya.
Ada hening yang menyekat ruangan kamar ini. Aku masih tidak berani berkata apapun. Seperti ada sesuatu yang sudah lama ingin ia utarakan. Lalu dengan lirih, ia sempurna membuka suaranya.
"Aku menyayanginya, Nung."
Kutatap mata sipit sahabatku itu. Ada kejujuran yang terpancar di dalamnya. Sekarang aku benar-benar bisa melihat bahwa kali ini hatinyalah yang sedang berbicara. Setelah sekian lama memutuskan untuk tidak bersinggungan dengan pria manapun dalam kehidupannya, kini sahabat baikku itu telah menjatuhkan pilihannya.
"Thanks God.. Semoga pria beruntung ini, nantinya akan mengerti dengan arti diammu selama ini. Dan semoga ia tidak hanya akan menyayangimu pula, tapi juga mencintaimu, sahabatku".
Aku kembali memeluknya lebih erat, seraya berdo'a.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata : "Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia"
Memang, tidak ada yang lebih berat dan sakit dari menaruh harapan pada sesuatu yang masih samar terlihat. Antara ya atau tidak, antara pilih atau tinggalkan. Keduanya pastilah memiliki konsekwensi yang tetap harus dijalani. Namun seberat apapun pilihan itu, bukankah cara Allah bisa selalu meringankan?
Dalam hal ini, sahabatku mungkin sedang merasakan pergolakan pahit dalam cerita hatinya. Ia yang masih dengan diam menyimpan harap, selalu menunggu akhir dari pengharapannya sendiri yang entah akan seperti apa.
Do'aku, semoga pengharapannya ini diijabah oleh sang Maha pengabul pinta. Bukan pada dia yang masih belum bisa memutuskan apa-apa.
Semoga..
"Satu tahun. dan kini sudah tiga bulan semenjak kali terakhir aku mengetahuinya baik-baik saja"
"Kamu tahu dimana dia sekarang?"
Ia menggeleng. Helaan nafas berat itu terdengar menyertai betapa khawatirnya perasaan itu. Setidaknya itulah yang terlihat olehku.
Apa yang lebih berat dari berharap kepada yang tidak bisa memberi pengharapan.
Apa yang lebih sakit dari ketidakjelasan pada kepastian.
Aku memperhatikan raut wajahnya. Meski terlihat tegar, aku tahu betapa rapuhnya hati sahabatku kali ini. Ia yang tak pernah ingin menangisi apapun dalam hidupnya, nyatanya kalah juga. Bulir-bulir bening itu mulai muncul di penghujung mata sipitnya. Aku tahu hatinya sudah berkata lain dengan lidahnya. Sungguh ia bukanlah seorang pembohong yang handal menyembunyikan perasaannya.
"Boleh aku memelukmu?" Ia bertanya seketika.
Akupun mengangguk, mempersilahkannya untuk menumpahkan segala kegalauan hatinya di pundakku. Kudekap erat tubuh mungilnya. Jika sudah seperti ini, aku tak pernah mencoba untuk menanyakan apa-apa lagi kepadanya. Akan kubiarkan sampai ia sendiri yang akhirnya membuka mulut untuk bercerita.
Seketika pundak kiriku terasa dingin, Ada tetesan air yang jatuh disana. Ia menangis.
"Menangislah sahabat, luangkan sampai kamu merasa lega". Aku berkata lirih sambil mengusap punggungnya, berharap cara ini bisa sedikit lebih menenangkan.
Kini nafas berat itupun semakin jelas terdengar. Ia sesegukan menahan tangis yang sudah mulai membasahi bajuku lebih banyak.
"Aku bisa apa sekarang? Aku perempuan. Aku hanya bisa menunggu tanpa memulai apapun. Aku... Aku..." Ucapannya terhenti, ia tak berani meneruskan kata-katanya. Yang terlihat kini justru jilbab birunya sudah sama basahnya dengan bajuku.
Aku masih membiarkan ia menangis dalam pelukanku. Aku rasai getar hatinya. Sebagai seorang sahabat yang sudah lebih banyak tahu tentang 'kebohongannya' selama ini, aku mulai dibuat geram.
"Sahabatku, mungkin kamu bisa terus-terusan membohongiku, juga orang lain, juga dia. Tapi kamu tidak akan pernah bisa membohongi dirimu sendiri sampai kapanpun itu. Cobalah untuk jujur pada hatimu sendiri. Your heart wants what it wants, dear."
Seketika dekapan itu ia lepas dari tubuhku. Tangannya bergerak cepat untuk mengusap tetesan air mata yang ada di pipinya. Namun jilbab biru favoritenya itu telah sempurna basah menyimpan bukti kejujuran perasaannya.
Ada hening yang menyekat ruangan kamar ini. Aku masih tidak berani berkata apapun. Seperti ada sesuatu yang sudah lama ingin ia utarakan. Lalu dengan lirih, ia sempurna membuka suaranya.
"Aku menyayanginya, Nung."
Kutatap mata sipit sahabatku itu. Ada kejujuran yang terpancar di dalamnya. Sekarang aku benar-benar bisa melihat bahwa kali ini hatinyalah yang sedang berbicara. Setelah sekian lama memutuskan untuk tidak bersinggungan dengan pria manapun dalam kehidupannya, kini sahabat baikku itu telah menjatuhkan pilihannya.
"Thanks God.. Semoga pria beruntung ini, nantinya akan mengerti dengan arti diammu selama ini. Dan semoga ia tidak hanya akan menyayangimu pula, tapi juga mencintaimu, sahabatku".
Aku kembali memeluknya lebih erat, seraya berdo'a.
***
Ali bin Abi Thalib pernah berkata : "Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia"
Memang, tidak ada yang lebih berat dan sakit dari menaruh harapan pada sesuatu yang masih samar terlihat. Antara ya atau tidak, antara pilih atau tinggalkan. Keduanya pastilah memiliki konsekwensi yang tetap harus dijalani. Namun seberat apapun pilihan itu, bukankah cara Allah bisa selalu meringankan?
Dalam hal ini, sahabatku mungkin sedang merasakan pergolakan pahit dalam cerita hatinya. Ia yang masih dengan diam menyimpan harap, selalu menunggu akhir dari pengharapannya sendiri yang entah akan seperti apa.
Do'aku, semoga pengharapannya ini diijabah oleh sang Maha pengabul pinta. Bukan pada dia yang masih belum bisa memutuskan apa-apa.
Semoga..
Baguuuys cerpennya :)
ReplyDeleteIs that gonna be a "cerber"?? ;p
Did you put a real comment kak? :D
ReplyDeleteCerber?? Hmm.. That's not a bad idea :)