#BLUE: The third options

Matanya tidak bisa dibohongi. Sudah dari tadi aku memperhatikan kakak perempuanku itu dari sudut kursi ruangan ini. Semenjak pulang dari rumah temannya tadi, Aku menangkap ada yang kurang beres dengannya. Ingin segera bertanya namun selalu kuurungkan. Kakakku ini memang lumayan susah untuk diselidiki, apalagi jika ditanyai tentang perihal yang begitu privasi menurutnya. Jalan satu-satunya untuk bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi hanyalah menunggu untuk menemukan waktu yang tepat, atau, menunggu sampai ia sendiri yang akan berbicara.

"Kamu kenapa ngeliatin kakak begitu?". Tiba-tiba ia tersadar jika sedari tadi aku mencoba untuk lebih memperhatikannya, dengan diam-diam.

"Habis nangis kak? matanya sipit gitu. Lagian kalau udah sipit jangan dibikin tambah sipit lagi kenapa?". Setengah meledek aku bertanya kepadanya.

"Iya nih, bentar lagi bakalan resmi jadi amoy Singkawang deh kayaknya". Tanpa tawa khas candaan yang biasa ia berikan, ia menjawab begitu saja. Hanya sesimpul senyuman kecil yang melekuk pada kedua belah pipinya.

"Emang siapa yang udah buat kamu nangis? Lagian tumben kakak bisa nangis. Situ kan setengah laki kak? Hahaha". Aku semakin senang meledeknya jika situasi moodnya sedang labil seperti ini. Sebagai adik laki-laki, aku paham betul perkara apa yang sampai bisa membuatnya menangis. Apalagi kan? Kalian pasti tahu apa yang kumaksudkan.

Lama ia tidak menanggapi pertanyaanku. Seolah terfokus hanya pada buku yang ada di tangan kirinya, atau sengaja tak ingin meladeni ucapan nyelenehku yang menurutnya menyebalkan ini, ia hanya terdiam di sana. Sepertinya aku sudah membuatnya semakin merasa tidak nyaman dengan ucapanku.
"Yaudah kalau kakak nggak mau cerita sekarang". Aku kembali meneruskan permainanku pada layar kecil di notebook biru kesayangannya.

10 menit berlalu..

35 menit berlalu...

1 jam 17 menit berlalu...

Anggaplah jika aku sudah menghitungnya dengan ukuran yang sangat tepat. Kakak masih menatap lembar demi lembar buku yang ada di tangannya. Meski sudah berkali-kali mengganti posisi duduknya, aku merasa bahwa ia sedang merasa tidak nyaman dengan apapun yang ada di sekitarnya kali ini. Ya, feelingku berkata kuat seperti itu.

"Sebagai seorang laki-laki, apa yang akan kamu lakukan terhadap perempuan yang sudah kamu buat jatuh cinta?". Tiba-tiba pertanyaan itu keluar begitu saja. Tepat setelah ia menutup lembar buku tebalnya yang sedaritadi ia baca.

Aku menekan tombol pause pada permainanku. Sedikit kaget rasanya saat mendengar pertanyaan itu keluar begitu saja dari seorang kakak yang jarang sekali menceritakan masalah pribadinya seperti ini kepadaku. Jika sudah seperti ini, sekarang aku faham dengan betul siapa dan apa yang tengah digalaukan oleh kakak semata wayangku itu. Pasti dia!

"Kak, laki-laki dewasa tidak akan membuat gadisnya jatuh cinta jika ia tidak berniat untuk menikahinya. Namun jika ia tidak melakukan hal itu, maka pastikan untuk melakukan dua hal ini terhadapnya. Pertahankan, atau tinggalkan! Itu saja."

Kakakku terdiam. Sepertinya jawabanku tadi telah menyinggung ruang kecil di dalam hatinya. Entah itu mengena tepat pada kegalauannya kali ini, atau justru menjadi titik cerah pada permasalahan yang tengah ia hadapi. Sebagai seorang adik, dan juga laki-laki, aku hanya bisa mengatakan apa yang sejatinya harus kukatakan. Aku tidak ingin membuat kakakku dilanda kesedihan yang berkepanjangan. Perempuanpun haruslah memiliki sikap bukan?

"Kakak rasa, kakak akan memilih yang ketiga. Bolehkan?"

"Apa?" Aku bertanya dengan sedikit heran.

"Menunggu"

"Mau nunggu sampai kapan kak?"

"Sampai kakak mengenalnya"




Comments

Popular posts from this blog

AU PAIR

Words of affirmation

Turkey, dan Yang Perlu Kamu Tahu !