Aku yang bukan Aku
Pagi tadi aku mematut diriku lebih lama di depan cermin. Bukan untuk bersolek atau berbenah jilbab yang terlihat serampangan aku gunakan, tapi untuk bercengkrama pada sosok lain dari diriku.
Ia adalah sosok aku yang seringkali tersembunyi, seringkali menutupi duka lukanya, juga yang tak jarang menjadi aku yang bukan aku.
Sepintas, tak kulihat suara batinnya yang berbicara. Toh selama ini hanya seulas senyum yang seringkali ia hadirkan. Ia tak pernah benar-benar kuajak berlama-lama untuk saling menatap.
Aku yang bukan aku mungkin ingin memberontak. Ia sudah jengah berlama-lama memendam kegelisahannya sendiri. Karena biasanya, aku akan cepat-cepat menghalau perasaan itu untuk pergi. Bukankah sebuah ungkapan bijak pernah mengatakan, "simpanlah dukamu untuk sendiri, sebab engkau hanya perlu membagi rasa sukamu untuk orang lain".
Berkali-kali, saat pikiran itu muncul dalam waktu-waktu yang tak terduga, maka aku hanya akan cepat-cepat mengalihkannya pada hal lain yang lebih berwarna. Untuk apa dibiarkan berlama-lama? tidak ada gunanya! gumamku dalam hati kala itu.
Tapi nyatanya aku salah. Sesuatu yang sudah terlalu lama dipendam, biasanya akan membuncah lebih hebat dari apa yang kita bayangkan. Sesuatu yang juga terlalu sering untuk dibohongi, lama-lama akan memberontak dari pertahanannya. Tepat seperti kali ini, saat aku mematung lebih lama sedari pagi.
Aku yang bukan aku menuntut haknya untuk diperhatikan. Sesak sudah rasanya berada di ruang sempit paling dalam. Ia sudah bosan berlama-lama diam dan diabaikan.
"Sesekali, ajaklah ia untuk mengobrol. Tanyai kabarnya, bagaimana keadaannya selama ini. masih baikkah ia didalam sana?".
Aku dinasehati. Tapi sepertinya memang itulah yang tengah aku butuhkan. Aku diberi pengingat bahwa sosok aku yang bukan aku adalah sisi lain dari diriku selama ini. Keegoisanku untuk mengabaikannya ternyata adalah suatu hal yang berujung salah. Nyatanya, ialah sebenar-benarnya kejujuran yang seringkali disembunyikan, bahkan mungkin terabaikan.
Kucermati raut wajah itu lamat-lamat. Kulihat lebih dalam pada bola mata hitam yang ada didalamnya. Lalu sedetik melesat, kuhadirkan seulas senyum untuk menyapanya pelan-pelan. Aku takut jika ia benar-benar telah merasa diterlantarkan sejauh ini.
Fokusku dipertajam. Kedip mata itupun sebisa mungkin ku kurangi. Aku benar-benar ingin melihat kejujurannya dari dalam sana.
Sekarang... lihatlah! ternyata ia tak mau membalas senyum yang serupa aku.
Aku yang bukan aku kini telah menjawab sendiri pertanyaannya. Ia jelas tak ingin berbohong lagi. Nafasnya sudah terlanjur sesak. Ia perlu ruang yang lebih terbuka agar bisa bernafas leluasa kembali.
Sejurus kemudian, senyumku meredup. Jawaban itu telah ditemukan.
"don't act such a big liar anymore girl, you knew even better. Now, just be honest with your self !"
Lalu pada balik cermin, kulihat senyum itu mulai merekah. Aku yang bukan aku telah memenangkan dialognya.
Semoga kami bisa berdamai satu sama lain setelah ini :)
Ia adalah sosok aku yang seringkali tersembunyi, seringkali menutupi duka lukanya, juga yang tak jarang menjadi aku yang bukan aku.
Sepintas, tak kulihat suara batinnya yang berbicara. Toh selama ini hanya seulas senyum yang seringkali ia hadirkan. Ia tak pernah benar-benar kuajak berlama-lama untuk saling menatap.
Aku yang bukan aku mungkin ingin memberontak. Ia sudah jengah berlama-lama memendam kegelisahannya sendiri. Karena biasanya, aku akan cepat-cepat menghalau perasaan itu untuk pergi. Bukankah sebuah ungkapan bijak pernah mengatakan, "simpanlah dukamu untuk sendiri, sebab engkau hanya perlu membagi rasa sukamu untuk orang lain".
Berkali-kali, saat pikiran itu muncul dalam waktu-waktu yang tak terduga, maka aku hanya akan cepat-cepat mengalihkannya pada hal lain yang lebih berwarna. Untuk apa dibiarkan berlama-lama? tidak ada gunanya! gumamku dalam hati kala itu.
Tapi nyatanya aku salah. Sesuatu yang sudah terlalu lama dipendam, biasanya akan membuncah lebih hebat dari apa yang kita bayangkan. Sesuatu yang juga terlalu sering untuk dibohongi, lama-lama akan memberontak dari pertahanannya. Tepat seperti kali ini, saat aku mematung lebih lama sedari pagi.
Aku yang bukan aku menuntut haknya untuk diperhatikan. Sesak sudah rasanya berada di ruang sempit paling dalam. Ia sudah bosan berlama-lama diam dan diabaikan.
"Sesekali, ajaklah ia untuk mengobrol. Tanyai kabarnya, bagaimana keadaannya selama ini. masih baikkah ia didalam sana?".
Aku dinasehati. Tapi sepertinya memang itulah yang tengah aku butuhkan. Aku diberi pengingat bahwa sosok aku yang bukan aku adalah sisi lain dari diriku selama ini. Keegoisanku untuk mengabaikannya ternyata adalah suatu hal yang berujung salah. Nyatanya, ialah sebenar-benarnya kejujuran yang seringkali disembunyikan, bahkan mungkin terabaikan.
Kucermati raut wajah itu lamat-lamat. Kulihat lebih dalam pada bola mata hitam yang ada didalamnya. Lalu sedetik melesat, kuhadirkan seulas senyum untuk menyapanya pelan-pelan. Aku takut jika ia benar-benar telah merasa diterlantarkan sejauh ini.
Fokusku dipertajam. Kedip mata itupun sebisa mungkin ku kurangi. Aku benar-benar ingin melihat kejujurannya dari dalam sana.
Sekarang... lihatlah! ternyata ia tak mau membalas senyum yang serupa aku.
Aku yang bukan aku kini telah menjawab sendiri pertanyaannya. Ia jelas tak ingin berbohong lagi. Nafasnya sudah terlanjur sesak. Ia perlu ruang yang lebih terbuka agar bisa bernafas leluasa kembali.
Sejurus kemudian, senyumku meredup. Jawaban itu telah ditemukan.
"don't act such a big liar anymore girl, you knew even better. Now, just be honest with your self !"
Lalu pada balik cermin, kulihat senyum itu mulai merekah. Aku yang bukan aku telah memenangkan dialognya.
Semoga kami bisa berdamai satu sama lain setelah ini :)
pasti keren bertemu Nia yang memang Nia
ReplyDeleteKerennya justru berkali lipat deh kayaknya. Haha :D
ReplyDeletekaa aku bingung aku udah buka smiling face indonesia gimana cara daftarnya ya
ReplyDeleteKak bisa minta alat email kakak aja g
ReplyDeleteKak bisa minta alat email kakak aja g
ReplyDelete