Jangan mencurangi
Ia sedang kamu curangi. Setidaknya itu yang ia tahu.
Hampir di setiap malam, saat orang-orang sekitar tak ada lagi yang sadar, ia membuka laman ceritamu. Ia tidak ingin diketahui banyak orang, karena rasa kagumnya selama ini juga ia simpan diam-diam.
Ia sedang kamu curangi. Setidaknya itu yang ia rasa dari kecewa menunggu kabar yang tak juga ia jumpai. Ia tidak menemukanmu disana, dan ternyata kamu juga tidak menuliskan apa-apa. Entah itu perihal sepele tentang pekerjaan yang membuatmu lelah, atau setumpuk kerinduanmu agar bisa segera pulang bertemu ibu.
Ia sedang kamu curangi. Setidaknya itu yang ia lihat dari tanda-tanda semesta yang ikut menjadi saksi. Jarak yang saat ini tengah dihadapi adalah satu bentuk kecurangan yang juga ikut berpartisipasi. Padahal ia tengah menunggumu sedari tadi. Tidakkah kamu rasai getarnya lewat peraduan do'a-do'a? Ia juga menanti setiap kesempatan yang ada, hanya untuk sekedar bisa bercengkrama denganmu. Entah itu mendengarkan cerita tentang betapa melangitnya harga makanan disana, atau keseruanmu bermain bersama anak-anak didik yang luar biasa.
Lalu nanti, jika kamu sudah kehabisan bahan untuk bicara, maka gilirannya untuk membagi cerita kepadamu. Hari ini suasana kampusnya membosankan!
Ia sedang kamu curangi. Saat kamu dengan mudahnya membaca tulisan ini, membaca kerinduannya beserta rasa sepi, kamu justru tidak berlaku sebaliknya. Kamu membiarkan rasa penasarannya menggantung begitu saja. Sebab rasa rindu yang berujung di kamu, ternyata tak selalu berbalas tangan olehmu.
Ia sedang tidak menghakimi siapapun. Ia juga tak pernah menyalahkan siapapun. Toh, ia sendiri tahu bahwa bukan fisik yang awalnya membuat kalian saling mengagumi, tapi tulisan. Tempat dimana kalian akan saling bertemu diam-diam.
Ternyata, di dunia ini ada saja yang demikian, bukan?
Kini ia hanya bisa menanti tulisan-tulisan, berharap agar kamu tak lagi mencuranginya. Sebab selain do'a, hanya itulah yang bisa membuatnya tenang sembari menunggumu datang.
Kamu, bisa lebih adil dari ini kan?
Hampir di setiap malam, saat orang-orang sekitar tak ada lagi yang sadar, ia membuka laman ceritamu. Ia tidak ingin diketahui banyak orang, karena rasa kagumnya selama ini juga ia simpan diam-diam.
Ia sedang kamu curangi. Setidaknya itu yang ia rasa dari kecewa menunggu kabar yang tak juga ia jumpai. Ia tidak menemukanmu disana, dan ternyata kamu juga tidak menuliskan apa-apa. Entah itu perihal sepele tentang pekerjaan yang membuatmu lelah, atau setumpuk kerinduanmu agar bisa segera pulang bertemu ibu.
Ia sedang kamu curangi. Setidaknya itu yang ia lihat dari tanda-tanda semesta yang ikut menjadi saksi. Jarak yang saat ini tengah dihadapi adalah satu bentuk kecurangan yang juga ikut berpartisipasi. Padahal ia tengah menunggumu sedari tadi. Tidakkah kamu rasai getarnya lewat peraduan do'a-do'a? Ia juga menanti setiap kesempatan yang ada, hanya untuk sekedar bisa bercengkrama denganmu. Entah itu mendengarkan cerita tentang betapa melangitnya harga makanan disana, atau keseruanmu bermain bersama anak-anak didik yang luar biasa.
Lalu nanti, jika kamu sudah kehabisan bahan untuk bicara, maka gilirannya untuk membagi cerita kepadamu. Hari ini suasana kampusnya membosankan!
Ia sedang kamu curangi. Saat kamu dengan mudahnya membaca tulisan ini, membaca kerinduannya beserta rasa sepi, kamu justru tidak berlaku sebaliknya. Kamu membiarkan rasa penasarannya menggantung begitu saja. Sebab rasa rindu yang berujung di kamu, ternyata tak selalu berbalas tangan olehmu.
Ia sedang tidak menghakimi siapapun. Ia juga tak pernah menyalahkan siapapun. Toh, ia sendiri tahu bahwa bukan fisik yang awalnya membuat kalian saling mengagumi, tapi tulisan. Tempat dimana kalian akan saling bertemu diam-diam.
Ternyata, di dunia ini ada saja yang demikian, bukan?
Kini ia hanya bisa menanti tulisan-tulisan, berharap agar kamu tak lagi mencuranginya. Sebab selain do'a, hanya itulah yang bisa membuatnya tenang sembari menunggumu datang.
Kamu, bisa lebih adil dari ini kan?
Comments
Post a Comment