Cintamu dari Manokwari untuk Indonesia
Pagi kali itu masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Semilir angin yang begitu hangat telah menerpa tepian wajahmu dari sela-sela kelas yang tak berdinding utuh. Riuh anak-anak didalam kelas juga mulai terdengar suaranya, mereka ikut menyambut pelajaran pertama hari itu dengan antusias. Meski jumlahnya tidak seberapa, namun ada rasa bangga yang begitu kuat saat kau berada diantaranya. Semangat menimba ilmu yang mereka miliki, perlu diacungi jempol berkali-kali. Itulah ujarmu kala itu.
Seorang bocah kecil dengan rambut ikal yang duduk diurutan meja nomor empat memperhatikanmu lamat-lamat. Wajahnya terlihat menggantung, semacam ada beban yang tengah ia pikul. Sesekali kedua bola matanya bergerak keluar jendela, memandangi lautan lepas yang jaraknya tidak begitu jauh dari ruangan kelas itu. Kamu yang memiliki insting lebih tajam, seolah menangkap semburat keragu-raguan dari tingkah polahnya. Ada apa sebenarnya dengan anak ini? Pertanyaanmu tersimpan untuk sementara waktu dengan sendirinya.
Berada di tempat seperti ini, jauh dari hiruk pikuk keramain kota, jauh dari hingar-bingar kendaraan yang berlalu lalang, serta bonus tambahan yang diberikan oleh alam nan asri benar-benar telah membuatmu mengalihkan pandangan dari gadget-gadget mahal selama ini. Lihatlah, Tuhan telah membawamu sejauh ini untuk memberikan pelajaran yang luar biasa. Ada banyak cerita yang harus dibungkus bersama ratusan kenangan dan pelajaran, hingga kemudian kau bagikan kepada banyak orang. Sesuatu yang mungkin hanya bisa di dapat dari sebuah pulau kecil di ujung Indonesia.
Tiba-tiba, suara ketukan di dinding pintu menyadarkan kekagumanmu. Salah seorang dari orang tua murid yang tengah kau ajarkan perlahan datang menghampiri. Ia berbisik, mengajakmu keluar dari ruangan kelas mengajar saat itu. Dengan langkah sedikit terburu-buru, kamu mengikutinya dari arah belakang.
"Maaf Pak, saya minta izin berlibur tiga bulan untuk anak saya, karena dia harus ikut membantu keluarga bekerja di laut".
Deg. Seakan logikamu tak ingin menangkap jelas maksud dari pembicaraan kali ini. Izin berlibur tiga bulan? Ini Sekolah Dasar pak, bukan kuliah! Bagaimana mungkin kamu bisa mengizinkannya begitu saja? Batinmu jelas menolak di dalam hati.
Tapi lihatlah, kondisinya kali ini berbeda, ini bukan kampung halamanmu. Ini juga bukan toritorial wilayah kekuasaanmu. Budayanya berbeda, kondisi sosial ekonominya juga tak sama. Di sini, di salah satu sudut kecil Papua, apasaja bisa 'dimaklumi' jika sudah berurusan dengan perut. Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya harus melaut juga? Setidaknya itulah selentingan yang sering kau dengar dari mulut-ke mulut orang.
Kini raut wajahmu menggantung. Mirip seperti bocah pada meja nomor empat tadi. Sejurus kemudian rasa khawatir dan keragu-raguan itu juga muncul di sana. Namun rasa iba jelas menjadi dominan yang tak mungkin terelakkan.
Kini kau mengerti apa yang tengah dirisaukan muridmu sedari pagi. Ia gelisah, gelisah karena jauh didalam hatinya Ia tengah melawan keinginan atas dasar kenyataan hidupnya. Sebagai seorang tenaga pengajar, ingin rasanya kau memaksakan semua muridmu bisa mengenyam pendidikan dengan tenang tanpa embel-embel kewajiban bekerja membantu keluarga, apalagi diusia mereka yang masih sangat muda.
Aaaah.. betapa ketidakmerataan sosial ekonomi di negara ini masih benar-benar terjadi. Andai orang-orang dibelahan pulau lain sana mengerti bagaimana berjuang di negeri yang telah merdeka ini sesungguhnya jauh lebih sulit untuk dihadapi. Andai para petinggi-petinggi negeri juga memahami bagaimana derita menjadi bagian dari 'asuhan' mereka juga tidak semudah yang dikatakan orang-orang tertentu saja. Andai...
Dilain kisah, kau menyelami kasus-kasus lain yang tak kalah menguras rasa haru. Tentang pemasangan bendera pusaka yang terbalik, tentang tidak adanya kartu identitas kewarganegaraan yang dimiliki sebagian masyarakatnya, serta tentang melangitnya harga-harga kebutuhan barang pokok sehari-hari.
Kau tahu, saat kau bagikan cerita kepadaku tentang pemasangan bendera putih di bagian atas dan merah di bawah, aku membayangkan rasa pilu yang ikut mendera hatimu seketika. "Setidaktahu inikah mereka akan posisi bendera pusakanya?"
Lalu tentang ucap mereka yang mengatakan bahwa "cukup Tuhan saja yang tahu bahwa kami juga warga Indonesia", maka bertambah pula rasa haru di sela-sela dadaku mendengarnya.
Ya Allah.. betapa beratnya perjuangan saudara sebangsaku di ujung Indonesia sana. Perjuangan melawan ketidaktahuan, perjuangan melawan realita kehidupan.
Namun dibalik semuanya, tetap mereka sisipkan rasa bangga menjadi bagian dari NKRI ini. Karena atas nama Tuhan, mereka meyakini bahwa mereka juga adalah bagian dari kita, bagian dari Indonesia.
Sungguh, perjalanan cintamu dari Manokwari untuk Indonesia akan berbalas sambut dari sebuah ikatan yang mengatasnamakan saudara. Teruslah berjuang mengenalkan bumi pertiwi ini kepada bangsamu sendiri. Sebab jika bukan kita, maka siapa lagi?
Karena kesalahan paling memalukan dari jati diri sebuah warga negara adalah saat membiarkan saudaranya 'buta' tentang dunianya sendiri.
Seorang bocah kecil dengan rambut ikal yang duduk diurutan meja nomor empat memperhatikanmu lamat-lamat. Wajahnya terlihat menggantung, semacam ada beban yang tengah ia pikul. Sesekali kedua bola matanya bergerak keluar jendela, memandangi lautan lepas yang jaraknya tidak begitu jauh dari ruangan kelas itu. Kamu yang memiliki insting lebih tajam, seolah menangkap semburat keragu-raguan dari tingkah polahnya. Ada apa sebenarnya dengan anak ini? Pertanyaanmu tersimpan untuk sementara waktu dengan sendirinya.
Berada di tempat seperti ini, jauh dari hiruk pikuk keramain kota, jauh dari hingar-bingar kendaraan yang berlalu lalang, serta bonus tambahan yang diberikan oleh alam nan asri benar-benar telah membuatmu mengalihkan pandangan dari gadget-gadget mahal selama ini. Lihatlah, Tuhan telah membawamu sejauh ini untuk memberikan pelajaran yang luar biasa. Ada banyak cerita yang harus dibungkus bersama ratusan kenangan dan pelajaran, hingga kemudian kau bagikan kepada banyak orang. Sesuatu yang mungkin hanya bisa di dapat dari sebuah pulau kecil di ujung Indonesia.
Tiba-tiba, suara ketukan di dinding pintu menyadarkan kekagumanmu. Salah seorang dari orang tua murid yang tengah kau ajarkan perlahan datang menghampiri. Ia berbisik, mengajakmu keluar dari ruangan kelas mengajar saat itu. Dengan langkah sedikit terburu-buru, kamu mengikutinya dari arah belakang.
"Maaf Pak, saya minta izin berlibur tiga bulan untuk anak saya, karena dia harus ikut membantu keluarga bekerja di laut".
Deg. Seakan logikamu tak ingin menangkap jelas maksud dari pembicaraan kali ini. Izin berlibur tiga bulan? Ini Sekolah Dasar pak, bukan kuliah! Bagaimana mungkin kamu bisa mengizinkannya begitu saja? Batinmu jelas menolak di dalam hati.
Tapi lihatlah, kondisinya kali ini berbeda, ini bukan kampung halamanmu. Ini juga bukan toritorial wilayah kekuasaanmu. Budayanya berbeda, kondisi sosial ekonominya juga tak sama. Di sini, di salah satu sudut kecil Papua, apasaja bisa 'dimaklumi' jika sudah berurusan dengan perut. Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika akhirnya harus melaut juga? Setidaknya itulah selentingan yang sering kau dengar dari mulut-ke mulut orang.
Kini raut wajahmu menggantung. Mirip seperti bocah pada meja nomor empat tadi. Sejurus kemudian rasa khawatir dan keragu-raguan itu juga muncul di sana. Namun rasa iba jelas menjadi dominan yang tak mungkin terelakkan.
Kini kau mengerti apa yang tengah dirisaukan muridmu sedari pagi. Ia gelisah, gelisah karena jauh didalam hatinya Ia tengah melawan keinginan atas dasar kenyataan hidupnya. Sebagai seorang tenaga pengajar, ingin rasanya kau memaksakan semua muridmu bisa mengenyam pendidikan dengan tenang tanpa embel-embel kewajiban bekerja membantu keluarga, apalagi diusia mereka yang masih sangat muda.
Aaaah.. betapa ketidakmerataan sosial ekonomi di negara ini masih benar-benar terjadi. Andai orang-orang dibelahan pulau lain sana mengerti bagaimana berjuang di negeri yang telah merdeka ini sesungguhnya jauh lebih sulit untuk dihadapi. Andai para petinggi-petinggi negeri juga memahami bagaimana derita menjadi bagian dari 'asuhan' mereka juga tidak semudah yang dikatakan orang-orang tertentu saja. Andai...
Dilain kisah, kau menyelami kasus-kasus lain yang tak kalah menguras rasa haru. Tentang pemasangan bendera pusaka yang terbalik, tentang tidak adanya kartu identitas kewarganegaraan yang dimiliki sebagian masyarakatnya, serta tentang melangitnya harga-harga kebutuhan barang pokok sehari-hari.
Kau tahu, saat kau bagikan cerita kepadaku tentang pemasangan bendera putih di bagian atas dan merah di bawah, aku membayangkan rasa pilu yang ikut mendera hatimu seketika. "Setidaktahu inikah mereka akan posisi bendera pusakanya?"
Lalu tentang ucap mereka yang mengatakan bahwa "cukup Tuhan saja yang tahu bahwa kami juga warga Indonesia", maka bertambah pula rasa haru di sela-sela dadaku mendengarnya.
Ya Allah.. betapa beratnya perjuangan saudara sebangsaku di ujung Indonesia sana. Perjuangan melawan ketidaktahuan, perjuangan melawan realita kehidupan.
Namun dibalik semuanya, tetap mereka sisipkan rasa bangga menjadi bagian dari NKRI ini. Karena atas nama Tuhan, mereka meyakini bahwa mereka juga adalah bagian dari kita, bagian dari Indonesia.
Sungguh, perjalanan cintamu dari Manokwari untuk Indonesia akan berbalas sambut dari sebuah ikatan yang mengatasnamakan saudara. Teruslah berjuang mengenalkan bumi pertiwi ini kepada bangsamu sendiri. Sebab jika bukan kita, maka siapa lagi?
Karena kesalahan paling memalukan dari jati diri sebuah warga negara adalah saat membiarkan saudaranya 'buta' tentang dunianya sendiri.
*sebuah kado kecil dari kisah perjalanan di penghujung negeri :)
Comments
Post a Comment