We're Muslim
Namanya Maria Hamid. Seorang gadis Turkey yang ku kenal lewat sebuah acara yang diselenggarakan oleh masjid Turkey yang berada di desa Vaassen, sekitar 30 menit dari kota Zwolle jika ditempuh menggunakan mobil. Usianya jauh berada di bawahku. Jika harus kutebak, mungkin berkisar di angka 16 tahun. Saat ini dia masih menempuh pendidikan di sebuah high school yang berada di kota Apeldoorn.
Sebenarnya bukan hanya Maria. Aku mengenal 3 orang gadis Turkey lainnya yang juga merupakan teman dari Maria. Dilara, Nurda, dan Damla. Mereka berempat adalah sosok gadis Turkey yang menarik. Meski baru saling mengenal setelah Nurda memuji ukiran hena yang ada di tanganku, kami akhirnya larut dalam perbincangan yang cukup asik.
Bagaimana excitednya Dilara yang bertemu langsung dengan orang Indonesia setelah di minggu sebelumnya pada kelas Geografi mereka membahas tentang Indonesia, bagaimana serunya candaan Nurda terhadap 'orang asing' sepertiku memaknai pertanyaan "How was Holland? did you like it?", dan berbagai perbincangan lainnya yang membawaku seolah ikut menjadi bagian dari mereka.
That was an awkward moment actually. I stand around the foreign people in that event. or should I say that it was me? ^^
Layaknya minoritas, bukan hal yang mustahil jika kebanyakan dari kalangan ini mendapatkan perlakuan yang 'kurang menyenangkan'. Meskipun tidak selamanya bisa di generalisasikan bahwa kaum mayoritas pasti melakukan hal yang demikian tadi. But in fact, I really felt it.
Setelah hampir satu tahun aku berada di negara ini, akhirnya aku menemukan kejadian yang kurang menyenangkan tadi.
Acara yang aku hadiri waktu itu bisa dikatakan sebagai ajang berkumpulnya para muslim (khususnya Turkey) melakukan kegiatan serupa bazar di area luar masjid. dan layaknya bazar, maka berbagai macam pula pemandangan yang disajikan ditempat itu. Mulai dari makanan, lukisan, barang-barang khas Turkey, hena, dan lain sebagainya.
Awalnya aku berfikir, wah.. hebat sekali warga Belanda yang ada di sekitar desa ini. Mereka bisa bertoleransi dengan baik terhadap kaum muslimnya. Nurda juga mengatakan bahwa dalam 1 bulan, masjid yang ada di tempat tersebut diperbolehkan untuk mengumandangkan adzan sebanyak 2 kali.
Meskipun itu terhitung sangat-sangat sedikit jika harus dibandingkan dengan banyaknya adzan yang harus dikumandangkan dalam sehari oleh umat muslim, tapi ketahuilah, itu saja sudah merupakan pencapain terbaik yang ku tahu selama berada di negara tanpa adzan ini. Two thumb up. Salut !!!
Namun belum juga berselang lama rasa kagumku hadir, segerombolan pria-pria Belanda yang menggunakan sepeda yang didesign menyatu dengan meja berupa bar, melintasi kami sambil bersorak menyanyikan lagu berbahasa Belanda sambil memukul-mukulkan tangan mereka diatas mejanya.
Membuat ribut? Iya. Itulah yang bisa kutangkap dari maksud perbuatan pri-pria tadi. Sepertinya mereka adalah golongan lain dari orang-orang Belanda yang aku kagumi di desa itu.
Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Diikuti oleh keempat teman Turkey ku tadi yang tiba-tiba berfokus pada hal yang sama.
This is the kind of being minority, isn't it?. Aku menyeletuk tiba-tiba.
Ya.. you know, the bad part of it. Maria menanggapi ucapanku.
Lalu kenapa Maria?
Harus aku akui, diantara keempat gadis cantik itu, dialah yang terlihat lebih bersemangat membahas tentang hal ini. Ini terlihat dari bagaimana kami mengobrol di jejaring sosial facebook setelah akhirnya aku harus berpamitan pulang terlebih dulu.
And here they are... Potongan dari beberapa obrolan yang kami lakukan.
Akhirnya tantangan itu terjawab.
Bagi aku yang dulunya begitu bermimpi dan membayangkan untuk bisa merasakan bagaimana sulitnya menjadi minoritas, kini semuanya sudah tergambar dengan jelas.
Thanks God for bring me to this situation.
Jika untuk mengenal MU ini membuatku harus menjadi seorang musafir, maka tuntun aku untuk menjelajahi dunia Mu :)
Sebenarnya bukan hanya Maria. Aku mengenal 3 orang gadis Turkey lainnya yang juga merupakan teman dari Maria. Dilara, Nurda, dan Damla. Mereka berempat adalah sosok gadis Turkey yang menarik. Meski baru saling mengenal setelah Nurda memuji ukiran hena yang ada di tanganku, kami akhirnya larut dalam perbincangan yang cukup asik.
Bagaimana excitednya Dilara yang bertemu langsung dengan orang Indonesia setelah di minggu sebelumnya pada kelas Geografi mereka membahas tentang Indonesia, bagaimana serunya candaan Nurda terhadap 'orang asing' sepertiku memaknai pertanyaan "How was Holland? did you like it?", dan berbagai perbincangan lainnya yang membawaku seolah ikut menjadi bagian dari mereka.
That was an awkward moment actually. I stand around the foreign people in that event. or should I say that it was me? ^^
Layaknya minoritas, bukan hal yang mustahil jika kebanyakan dari kalangan ini mendapatkan perlakuan yang 'kurang menyenangkan'. Meskipun tidak selamanya bisa di generalisasikan bahwa kaum mayoritas pasti melakukan hal yang demikian tadi. But in fact, I really felt it.
Setelah hampir satu tahun aku berada di negara ini, akhirnya aku menemukan kejadian yang kurang menyenangkan tadi.
Acara yang aku hadiri waktu itu bisa dikatakan sebagai ajang berkumpulnya para muslim (khususnya Turkey) melakukan kegiatan serupa bazar di area luar masjid. dan layaknya bazar, maka berbagai macam pula pemandangan yang disajikan ditempat itu. Mulai dari makanan, lukisan, barang-barang khas Turkey, hena, dan lain sebagainya.
Awalnya aku berfikir, wah.. hebat sekali warga Belanda yang ada di sekitar desa ini. Mereka bisa bertoleransi dengan baik terhadap kaum muslimnya. Nurda juga mengatakan bahwa dalam 1 bulan, masjid yang ada di tempat tersebut diperbolehkan untuk mengumandangkan adzan sebanyak 2 kali.
Meskipun itu terhitung sangat-sangat sedikit jika harus dibandingkan dengan banyaknya adzan yang harus dikumandangkan dalam sehari oleh umat muslim, tapi ketahuilah, itu saja sudah merupakan pencapain terbaik yang ku tahu selama berada di negara tanpa adzan ini. Two thumb up. Salut !!!
Namun belum juga berselang lama rasa kagumku hadir, segerombolan pria-pria Belanda yang menggunakan sepeda yang didesign menyatu dengan meja berupa bar, melintasi kami sambil bersorak menyanyikan lagu berbahasa Belanda sambil memukul-mukulkan tangan mereka diatas mejanya.
Membuat ribut? Iya. Itulah yang bisa kutangkap dari maksud perbuatan pri-pria tadi. Sepertinya mereka adalah golongan lain dari orang-orang Belanda yang aku kagumi di desa itu.
Aku tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Diikuti oleh keempat teman Turkey ku tadi yang tiba-tiba berfokus pada hal yang sama.
This is the kind of being minority, isn't it?. Aku menyeletuk tiba-tiba.
Ya.. you know, the bad part of it. Maria menanggapi ucapanku.
Lalu kenapa Maria?
Harus aku akui, diantara keempat gadis cantik itu, dialah yang terlihat lebih bersemangat membahas tentang hal ini. Ini terlihat dari bagaimana kami mengobrol di jejaring sosial facebook setelah akhirnya aku harus berpamitan pulang terlebih dulu.
And here they are... Potongan dari beberapa obrolan yang kami lakukan.
Akhirnya tantangan itu terjawab.
Bagi aku yang dulunya begitu bermimpi dan membayangkan untuk bisa merasakan bagaimana sulitnya menjadi minoritas, kini semuanya sudah tergambar dengan jelas.
Thanks God for bring me to this situation.
Jika untuk mengenal MU ini membuatku harus menjadi seorang musafir, maka tuntun aku untuk menjelajahi dunia Mu :)
Comments
Post a Comment