6 hour back
Selamat datang di peraduan malam. Tempat bertemunya semua imajinasi dan rasa penat di satu waktu. Lalu di sel-sela sepi, ada secuil rindu menghampiri.
Terima kasih untuk rasa lelah akhir-akhir ini. Kesibukan di dunia fakta ternyata membuatku sedikit lupa, setidaknya pada apa-apa yang menyita sisi lain dari apa yang tidak ingin aku beri porsi terlalu dalam.
Tapi lagi, seperti biasa malam ini aku terkalahkan.
Aku mengintip pada sisi jendela kamar. Langit malam ini hambar, tanpa awan, tanpa bintang.
Tapi sore tadi, aku mengejar matahari.
Kamu tahu, sesuatu yang selalu aku sukai selain biru. Sunset. Ia yang mengantarkan biru menemui peraduannya pada garis malam.
Entah mengapa rasanya masih sama seperti di 6 jam yang dulu pernah aku jalani.
Menatapnya, aku seolah berbicara kepadamu. Membisikkan bahwa langit kali ini berbaur warna.
Rasa hangat itu kini lebih sering menghampiri.
Tidak hujan. Tidak dingin. Terima kasih untuk menjagaku melalui tanda-tanda alam.
Lalu senyum itu merekah. Sebuah siluet pada frame kameraku tertangkap dengan tepat.
Pontianak.
Aku menulisnya di kota ini. Orang-orang menyebutnya kota Matahari.
Dulu sewaktu aku tengah berada di bulan-bulan ini, sejurus rasa dingin pasti sudah datang menghampiri. Bersama angin dan kuning musim gugur, aku menyukainya.
Jacket tebal, syal, sepatu boat, sarung tangan, dan seperangkat 'alat tempur' lainnya sudah pasti selalu ada. Menjadi bekalku menantang fenomena alam.
Dan aku, masih tetap menyukainya.
Selain perubahan warna, ada sepenggal nama yang sering membuat senyumku hadir di sana.
Siminanut. Siminanut. Siminanut.
Kamu menyebutnya yang entah keberapa kali.
Kamu yang juga ikut tertawa bersamaku dengan itu.
Kamu yang begitu ngotot mengatakan bahwa 'he is the one'.
Kamu, si gadis kecil yang sering mengajakku untuk bermain hockey atau menaiki otopet bersamaan menuju tempat les piano.
Kamu yang sering memintaku untuk membeli ice cream talamini coklat kesukaan kita.
Kamu, aku rindu.
Maaf belum bisa memenuhi janjiku untuk skype bersama.
Semoga kamu masih mau menungguku hingga sosoknya benar-benar nyata :)
Terima kasih untuk rasa lelah akhir-akhir ini. Kesibukan di dunia fakta ternyata membuatku sedikit lupa, setidaknya pada apa-apa yang menyita sisi lain dari apa yang tidak ingin aku beri porsi terlalu dalam.
Tapi lagi, seperti biasa malam ini aku terkalahkan.
Aku mengintip pada sisi jendela kamar. Langit malam ini hambar, tanpa awan, tanpa bintang.
Tapi sore tadi, aku mengejar matahari.
Kamu tahu, sesuatu yang selalu aku sukai selain biru. Sunset. Ia yang mengantarkan biru menemui peraduannya pada garis malam.
Entah mengapa rasanya masih sama seperti di 6 jam yang dulu pernah aku jalani.
Menatapnya, aku seolah berbicara kepadamu. Membisikkan bahwa langit kali ini berbaur warna.
Rasa hangat itu kini lebih sering menghampiri.
Tidak hujan. Tidak dingin. Terima kasih untuk menjagaku melalui tanda-tanda alam.
Lalu senyum itu merekah. Sebuah siluet pada frame kameraku tertangkap dengan tepat.
Pontianak.
Aku menulisnya di kota ini. Orang-orang menyebutnya kota Matahari.
Dulu sewaktu aku tengah berada di bulan-bulan ini, sejurus rasa dingin pasti sudah datang menghampiri. Bersama angin dan kuning musim gugur, aku menyukainya.
Jacket tebal, syal, sepatu boat, sarung tangan, dan seperangkat 'alat tempur' lainnya sudah pasti selalu ada. Menjadi bekalku menantang fenomena alam.
Dan aku, masih tetap menyukainya.
Selain perubahan warna, ada sepenggal nama yang sering membuat senyumku hadir di sana.
Siminanut. Siminanut. Siminanut.
Kamu menyebutnya yang entah keberapa kali.
Kamu yang juga ikut tertawa bersamaku dengan itu.
Kamu yang begitu ngotot mengatakan bahwa 'he is the one'.
Kamu, si gadis kecil yang sering mengajakku untuk bermain hockey atau menaiki otopet bersamaan menuju tempat les piano.
Kamu yang sering memintaku untuk membeli ice cream talamini coklat kesukaan kita.
Kamu, aku rindu.
Maaf belum bisa memenuhi janjiku untuk skype bersama.
Semoga kamu masih mau menungguku hingga sosoknya benar-benar nyata :)
Comments
Post a Comment