Close it. Feel it.
Dikatakan atau tidak dikatakan, itu tetap cinta.
Setidaknya itulah yang kulihat dari sebuah judul buku karangan novelis handal, Tere Liye. Atmosfir kalimat itu begitu kuat. Sama kuatnya jika kita memiliki pemahaman serupa dari kalimat sederhana tadi. Semacam ada rahasia besar yang tidak ingin untuk kita tunjukkan. Meski sebenarnya jauh dari apa yang diharapkan adalah sebuah pengakuan perasaan.
Pernahkah kita memikirkan, seberapa dekatkah kita dengan angin? Zat yang sejatinya selalu bersentuhan dengan diri ini bahkan di setiap detik hembusan nafas. Tapi apakah bisa kita melihatnya? Tidak. Yang kita tahu adalah rasa serta manfaat dari angin itu saja. Meski tak berwujud, ia terasa hingga masuk ke dalam rongga terkecil paru-paru. Menyebar memberi manfaat tanpa meminta balasan agar suatu saat kita bisa melihat, menyentuh, lalu kemudian tersenyum dan bersujud mengucapkan terimakasih kepadanya. Tidak. ia tidak meminta apa-apa.
Inilah betapa ajaibnya Allah yang menciptakan beberapa hal terpenting dalam hidup justru tanpa bisa untuk dilihat. Cukup rasakan dan pahami, jika mengerti, maka itu saja sudah cukup.
Aku tidak habis pikir dengan orang yang mati-matian untuk meminta dirinya diakui, dianggap eksistensinya begitu bermakna, merasa bahwa dia lah sosok yang paling berpengaruh untuk orang lain. Bukankah arti dari menjadi bermakna justru saat orang lain menyadari ketidakberadaan kita, namun merasakan dengan baik manfaat dari apa yang telah kita lakukan. Tak perlulah mengharap pamrih dengan mengatasnamakan kenampakan fisik. Toh sama saja seperti cinta, dikatakan atau tidak, ia akan tetap selalu ada. Sama seperti angin, dilihat atau tidak, ia akan tetap terasa.
Tere Liye benar. Dia bahkan selalu benar dalam merangkai bait-bait kata menjadi kalimat yang pada akhirnya akan terlalu sulit untuk disalahkan. Dia mengingatkan kembali tentang arti dari keberadaan yang sesungguhnya. Tak perlulah bertemu muka, tak perlulah rutin berkirim kabar, tak perlulah diungkapkan dengan gamblang, atau bahkan tak perlulah dikatakan. Pada hakikatnya itu juga akan tetap menjadi cinta bukan?
Beruntungnya mereka yang mampu memahami konsep ini, meski pada kenyataannya hanya sedikit yang mampu bertahan dengan logika seperti ini.
Jangan termakan zaman. Jangan gantungkan sepenuhnya pada konsep globalisasi atau apalah namanya yang menyebabkan itu semua menjadi tidak murni dan tulus lagi. Jangan biarkan pola pikir kebaratan menjadi arah yang harus diprioritaskan. Makna ada dan tidaknya kita akan tetap terasa meski tidak terlihat.
Bukankah kita memiliki batin? Jadi biarkan saja cinta yang mengatakannya sendiri.
Setidaknya itulah yang kulihat dari sebuah judul buku karangan novelis handal, Tere Liye. Atmosfir kalimat itu begitu kuat. Sama kuatnya jika kita memiliki pemahaman serupa dari kalimat sederhana tadi. Semacam ada rahasia besar yang tidak ingin untuk kita tunjukkan. Meski sebenarnya jauh dari apa yang diharapkan adalah sebuah pengakuan perasaan.
Pernahkah kita memikirkan, seberapa dekatkah kita dengan angin? Zat yang sejatinya selalu bersentuhan dengan diri ini bahkan di setiap detik hembusan nafas. Tapi apakah bisa kita melihatnya? Tidak. Yang kita tahu adalah rasa serta manfaat dari angin itu saja. Meski tak berwujud, ia terasa hingga masuk ke dalam rongga terkecil paru-paru. Menyebar memberi manfaat tanpa meminta balasan agar suatu saat kita bisa melihat, menyentuh, lalu kemudian tersenyum dan bersujud mengucapkan terimakasih kepadanya. Tidak. ia tidak meminta apa-apa.
Inilah betapa ajaibnya Allah yang menciptakan beberapa hal terpenting dalam hidup justru tanpa bisa untuk dilihat. Cukup rasakan dan pahami, jika mengerti, maka itu saja sudah cukup.
Aku tidak habis pikir dengan orang yang mati-matian untuk meminta dirinya diakui, dianggap eksistensinya begitu bermakna, merasa bahwa dia lah sosok yang paling berpengaruh untuk orang lain. Bukankah arti dari menjadi bermakna justru saat orang lain menyadari ketidakberadaan kita, namun merasakan dengan baik manfaat dari apa yang telah kita lakukan. Tak perlulah mengharap pamrih dengan mengatasnamakan kenampakan fisik. Toh sama saja seperti cinta, dikatakan atau tidak, ia akan tetap selalu ada. Sama seperti angin, dilihat atau tidak, ia akan tetap terasa.
Tere Liye benar. Dia bahkan selalu benar dalam merangkai bait-bait kata menjadi kalimat yang pada akhirnya akan terlalu sulit untuk disalahkan. Dia mengingatkan kembali tentang arti dari keberadaan yang sesungguhnya. Tak perlulah bertemu muka, tak perlulah rutin berkirim kabar, tak perlulah diungkapkan dengan gamblang, atau bahkan tak perlulah dikatakan. Pada hakikatnya itu juga akan tetap menjadi cinta bukan?
Beruntungnya mereka yang mampu memahami konsep ini, meski pada kenyataannya hanya sedikit yang mampu bertahan dengan logika seperti ini.
Jangan termakan zaman. Jangan gantungkan sepenuhnya pada konsep globalisasi atau apalah namanya yang menyebabkan itu semua menjadi tidak murni dan tulus lagi. Jangan biarkan pola pikir kebaratan menjadi arah yang harus diprioritaskan. Makna ada dan tidaknya kita akan tetap terasa meski tidak terlihat.
Bukankah kita memiliki batin? Jadi biarkan saja cinta yang mengatakannya sendiri.
Because sometime, the thing that you can't see is a real thing that you can feel it.
And now, I felt you.
Comments
Post a Comment