Untuk Seorang Hanifh
Bulir-bulir air wudhu yang jatuh dari raut wajah lugunya itu kini telah membawa kenanganku pada 7 tahun silam.
Rasa takut dan tidak mau ditinggalkan menggelayut bak parasit yang terus mengekang.
Tapi dia berbeda. dia tidak sepertiku.
Raut datar itu menyiratkan ketegaran yang jauh lebih besar dari apa yang dulu pernah aku lalui.
Aku yang selalu memikirkan.
Untuk seorang kestaria yang baru akan di tempa. Yang akan belajar bagaimana rasanya mencari, berjuang, dan bertahan.
Memetik setiap perjalanan baru yang akan menghampirinya.
Do'a-do'a ini tak pernah luput dari hati.
Setiap memejamkan mata, aku selalu merasa menjadi bagian dari kehidupannya.
Bangunan tua itu menjadi saksi. Bagaimana hidupmu akan berjalan menantang zaman.
Bulatkan tekad yang jauh dari dulu pernah kau tanam dan selalu aku ulang-ulang.
"Betah tidak betah, ini sudah menjadi plihan. Hadapilah seolah engkau mampu menaklukan hidup yang telah lama menjadi kelabu dalam pandangan. Aku disini hanya akan mejadi penopang. Berkeluh kesahlah kepadaku. Pahitnya hidup telah aku rasakan terlebih dahulu. Tunjukkan padaku, kita, dan mereka bahwa engkau adalah calon kestaria muda yang akan menjadi panutan di masa datang"
Senja di atas kota matahari ini menjadi saksi.
Keriunduanku padamu hanya terhalang jarak yang mematung pagi.
Untuk seorang calon kestaria baru dalam hidupku. Kuhadiahkan sebuah syair dari Imam Syafi'i yang sangat aku senangi. Kau tau, tidak ada hal sia-sia yang akan kau dapat jika kita lebih berani mengenal hidup.
Rasa takut dan tidak mau ditinggalkan menggelayut bak parasit yang terus mengekang.
Tapi dia berbeda. dia tidak sepertiku.
Raut datar itu menyiratkan ketegaran yang jauh lebih besar dari apa yang dulu pernah aku lalui.
Aku yang selalu memikirkan.
Untuk seorang kestaria yang baru akan di tempa. Yang akan belajar bagaimana rasanya mencari, berjuang, dan bertahan.
Memetik setiap perjalanan baru yang akan menghampirinya.
Do'a-do'a ini tak pernah luput dari hati.
Setiap memejamkan mata, aku selalu merasa menjadi bagian dari kehidupannya.
Bangunan tua itu menjadi saksi. Bagaimana hidupmu akan berjalan menantang zaman.
Bulatkan tekad yang jauh dari dulu pernah kau tanam dan selalu aku ulang-ulang.
"Betah tidak betah, ini sudah menjadi plihan. Hadapilah seolah engkau mampu menaklukan hidup yang telah lama menjadi kelabu dalam pandangan. Aku disini hanya akan mejadi penopang. Berkeluh kesahlah kepadaku. Pahitnya hidup telah aku rasakan terlebih dahulu. Tunjukkan padaku, kita, dan mereka bahwa engkau adalah calon kestaria muda yang akan menjadi panutan di masa datang"
Senja di atas kota matahari ini menjadi saksi.
Keriunduanku padamu hanya terhalang jarak yang mematung pagi.
Untuk seorang calon kestaria baru dalam hidupku. Kuhadiahkan sebuah syair dari Imam Syafi'i yang sangat aku senangi. Kau tau, tidak ada hal sia-sia yang akan kau dapat jika kita lebih berani mengenal hidup.
Merantaulah...
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah...
Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Imam Syafi'i.
Comments
Post a Comment