Maroko part2.. #Marakech

Kereta kali itu berjalan lambat. Tidak seperti kereta yang biasa aku tumpangi selama di Belanda.
Lorong-lorong sempitnya juga menjadi pembeda yang tidak biasa. Belum lagi hawa panas yang timbul berbarengan dengan penuhnya gerbong tua oleh penduduk lokal maupun beberapa turis asing.
Kata orang, tingkat kriminalitas di sini tinggi. Selalu berhati-hatilah terhadap barang bawaan dimanapun kita berada.

Aku menyimpan tas ranselku di pojok tempat duduk. Tepat disampingku. Tidak mau mengambil resiko karena takut ketiduran jika harus kuletakkan dibagian rak atas. Aku mengapitnya. Ini bisa kujadikan sebagai tempat sandaran yang multifungsi.

Melewati 8 Jam perjalanan dengan hampir melintasi belasan stasiun lainnya, aku tau ini bukan perjalanan yang singkat. Di saku ranselku hanya terselip sebuah buku tentang negara Maroko hasil pinjaman dari seorang teman di kota Fes, dan sebuah book adventure hasil pemberian salah seorang teman di Turkey yang selalu ku bawa setiap kali aku melakukan traveling.
Maka sudah bisa dipastikan, setelah puas membaca aku akan sibuk mencoret-coret di buku kecil tadi. Sisanya aku gunakan untuk tidur ataupun memandangi topografi wilayah Maroko dari kaca jendela di bagian dalam kereta.

Di dalam sebuah gerbong yang dipisahkan oleh bilik-bilik kamar berisi tempat duduk untuk 8 orang tersebut, aku bertemu 2 orang turis asal Perancis. Sepasang suami istri yang baru aku ketahui ternyata mereka sedang melakukan penelitian di negara ini. Bersama mereka akhirnya aku bisa menggunakan bahasa Inggris untuk mengobrol. Bukan Arab, apalagi Perancis. Memang harus aku akui, cukup sulit sekali menemukan warga asli Maroko yang pandai berbahasa Inggris. Tapi justru disitulah tantangannya. Bagaimana kita memaksimalkan komunikasi nonvisual yang kita bisa sebagai opsi lain dalam berinterkasi.

Perjalanan itu akhirnya mengantarkanku sampai di sudut terakhir rel kereta.
Marakech, kota kedua tujuan perjalananku selama di Maroko.
Kota yang dikenal dengan sebutan kota merah, karena hampir semua bangunanya didominasi oleh warna merah batu bata. Kota yang juga sudah terasa bak 'kota padang pasir' karena tumbuhan yang hidup disekitar daerah itu terlihat semakin sedikit. Sejauh mata memandang hanya akan terlihat paduan warna yang monoton. Rumah dengan bentuk kotak yang bertingkat-tingkat, pepohonan khas tanah tandus yang kerdil, juga aura hawa panas angin gurun sahara yang mulai terasa.
Itulah yang aku rasakan saat memandangi kota itu dari kejauhan sesaat sebelum kereta yang aku naiki benar-benar sampai di Gare de Marakech.
Gerbang utama stasiun kota Marakech
Sampai di sana, 2 orang pelajar asal Indonesia sudah menungguku di luar stasiun. Mereka duduk di tepian sebuah kafe yang kursi-kursinya sengaja ditata lebih menjorok keluar.
Tidak sulit untukku mengenali 2 orang bermuka asia yang menggunakan jilbab tersebut. Belum lagi gaya berpakain yang begitu khas Indonesia itu. Gamis, rok, baju longgar, serta jilbab.
Aaaah... terkadang aku menikmati menjadi minoritas :)

"Kak Vania kan?"
Salah satu diantara mereka mengawali pembicaraan itu. Setelah kuanggukkan kepala dibarengi dengan senyuman 'perkenalan', kamipun berpelukan satu sama lain.
Allah itu memang maha baik, Dia mempertemukanku dengan saudara seiman lain di bumiNya. Menuntunku untuk menjalin ikatan silaturrahim bernafaskan kekeluargaan saat kami berada jauh ditanah perantaun.

Mereka adalah mahasiswi di salah satu universitas yang ada di kota tersebut. Nafa dan Feby. 2 orang remaja yang ku kenal melalui media sosial beberapa minggu sebelum kedatanganku di sana.
Aku hanya mengenalinya dari foto yang terpajang di akun pribadi mereka. Entah seperti apa pradugaku sebelumnya tentang 2 sosok ini, aku hanya mampu mengira-ngira.
Namun ternyata hari itu aku dibuat pangling. Mereka lebih cantik dari fotonya, dan juga baik ^^

Nafa dan Feby
Hari itu masih cukup sore saat matahari kota Marakech menyilaukan pandanganku. Kami berdiri ditepian jalan yang tepat berada di depan stasiun kereta api tadi. Rencana perjalananku hari itu adalah langsung mengunjungi Koutoubia Mosque / Kutubiyya Mosque / Masjid Kutubiyah. Sebuah bangunan yang sangat iconic di tengah kota turis. Letaknya juga berdekatan dengan souk Jemaa el-Fna. Pusat semua kegiatan jual-beli yang ada di Marakech.

Masjid Kutubiyya adalah bagian dari bangunan hasil karya Almohad lainnya. Jika dulu aku pernah berkunjung ke Sevilla dan berkesempatan menyaksikan langsung karyanya pada sebuah minaret yang dikenal dengan sebutan La Giralda, maka kali ini aku diberi kesempatan yang sama oleh Allah. Melihat lagi salah satu bangunan yang menjadi bagian dari sejarah perkembangan Islam di benua Afrika tersebut.
Meski tinggi dari menara ini hanya 77 meter, yang artinya lebih rendah 31 meter dari La Giralda, tapi setidaknya aku bisa merasakan esensi dari keberadaan menara yang sesungguhnya.
Ya, menara itu masih berfungsi sebagai bangunan yang menopang tinggi toa-toa masjid dan memperdengarkan alunan suara adzan ke beberapa penjuru kota Marakech sampai saat ini.

Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika penamaan masjid Kutubiyya itu diambil berdasarkan sejarah tempat berdirinya bangunan tersebut.
Koutoubiyyin yang dalam bahasa Arab berarti "penjual buku", adalah alasan mengapa masjid tersebut hingga saat ini masih terlihat seperti aslinya. Aku sempat menemukan beberapa penjual buku yang menggelar dagangannya tepat di samping pintu masjid saat hendak melaksanakan shalat Magrib di sana.
Berkostumkan pakain tradisional djellaba, Aku jadi semakin merasa bahwa saat itu aku berada dalam mesin waktu. Kembali kebeberapa puluh tahun yang lalu saat hiruk pikuk aura di sekitar masjid ini masih dipenuhi oleh para pedagang-pedagang ilmu. Lalu setelah tiba waktu untuk mengingatNya, mereka akan sibuk menutup dagangannya dan bergegas masuk kedalam masjid. MasyaAllah..

Kutubiyya Mosque menjelang maghrib
Para penjual buku di sekitar masjid





Aku berkesempatan untuk masuk ke dalam masjid tersebut. Saat aku berkunjung kesana, waktu memang sudah menunjukkan untuk shalat Maghrib.
Sekedar informasi, jika hendak masuk ke masjid-masjid yang ada di Maroko, maka carilah waktu yang bertepatan dengan waktu shalat. Karena hanya pada waktu-waktu itu saja biasanya masjid akan di buka.

Setelah selesai melaksanakan kewajiban, kami melangkahkan kaki menuju pusat kota. Jemaa el-Fna. Tempat dimana kota Marakech terlihat lebih 'hidup' jika dilihat  pada malam hari.
Alun-alun raksasa itu sudah menjadi pusat kesibukan penduduk Maroko dan juga pendatang sejak jaman dahulu kala. Beraneka ragam kegiatan maupun parade keluarga menjadi penghias diantara lautan manusia yang tertumpah ruah disana. Aneka makanan khas Maroko juga menjadi daya pikat lain yang membuatku 'kalap' untuk menjajal semuanya. Tenda-tenda bernomer urut yang ada di area tersebut juga seakan bersaing menjajakkan barang dagangannya.

Kami berhenti pada sebuah tenda yang menjual jeruk peras dengan harga 4 Dirham. Sekedar menghilangkan dahaga sambil beristirahat dari penatnya arus lalu lintas yang kami lewati disana. Sang penjual dengan sigap melayani kami. Sesekali dia berbicara menggunakan bahasa Arab bersama kedua temanku tadi.

Tidak sah rasanya jika sudah menginjakkan kaki di negara orang, kita tidak sekaligus mencicipi makanan khas dari negara tersebut. Maka setelah menemukan tempat yang tepat, Akupun menjatuhkan pilihanku untuk mencoba Tojin khas Maroko. Makanan yang terbuat dari bahan dasar ayam yang dimasak bersama kentang dan ditaburi dengan buah zaitun diatasnya. Ditemani dengan segelas teh hangat bercampur daun mint segar, aku merasakan sensasi lidah yang tidak biasa.

Tojiiiiiiin

















Kami mengobrol sambil menikmati malam.
Dari sebuah teras yang berada di restoran bertingkat tersebut, mataku bisa menjangkau seluruh suasana pasar Jemaa el-Fna yang berada tepat dibagian bawah kami.
Duduk di sebuah kursi kayu dengan beratapkan langit, dihiasi lilin-lilin kecil dibagian meja, serta diiringi dengan alunan musik tradisional Maroko benar-benar membuat suasana jadi semakin berbeda.
Mungkin aku bisa menyebutnya dengan istilah romantis, tapi jika itu dilakukan bersama pasangan hidup kita :)

Ada begitu banyak hal yang sebenarnya bisa di eksplor dari kota turis ini.
Marakech tidak hanya sekedar 2 bangunan yang saling berdekatan itu saja. Masih banyak hal-hal lainnya yang mampu memberikan daya tarik tersendiri kepada siapapun yang menginjakkan kakinya di kota merah tersebut. Andai aku memiliki cukup banyak waktu untuk bisa menjelajahi semuanya, pastilah hal itu aka aku lakukan. Akan kubiarkan kakiku melangkah sebebas pengetahuanku untuk terus berkembang.

Malam semakin larut. Kami bergegas meninggalkan kerumunan orang-orang yang masih saja belum beranjak dari keramain itu.
Bersama jejak langkah yang semakin jauh, ceritaku selalu terukir manis ditempat itu.
Saudara baru, pengalaman baru, juga ingatan yang tak mungkin lekang oleh waktu, akan menjadi penghias lain dalam perjalanan hidupku.

Lalu seiring laju taksi yang membawa kami meninggalkan tempat itu, aku benar-benar menikmati kota Marakech ^^



Comments

Popular posts from this blog

AU PAIR

Words of affirmation

Turkey, dan Yang Perlu Kamu Tahu !