Teruntuk Sang Pelukis
Hei kamu.. sudah sejauh mana sketsa gambarmu kali ini?
Masihkah buram dan samar yang mendominasinya?
Kabarnya kamu punya cara tersendiri yang akupun bahkan tak diberi tahu.
Kamu, yang katanya punya sejuta pandang berbeda, menggerakkan kuas bukan hanya dengan jemari, tapi juga hati.
Tintanya sendiri kamu pilihkan bukan dari yang biasa, tapi birunya langit, juga laut.
Sesuatu yang bahkan kamu tahu dengan pasti, ia tak pernah habis terguras waktu.
Aku mencermati raut seriusmu dalam imajinasi.
Kita yang tak pernah bertatap muka, tak pernah bertegur sapa, tak pernah bertemu suara, seringkali dianggap remeh oleh mereka-mereka yang tak mengerti.
Katanya, bagaimana mungkin kamu melukis sesuatu tanpa sosoknya yang nyata?
Apa mungkin kamu bisa mengenali rupa yang bahkan tak pernah kamu jumpai sebelumnya?
Sayangnya, kamu tak tergubris sekalipun oleh itu.
Lalu dengan senyum tipis yang tergurat diantara kedua bibirmu, kamu kembali menegaskan sekali lagi. "Like painting abstract, she's different form other". Itu katamu.
Dan kamu, yang tak pernah merisaukan hal ini akan tetap asik melukiskan gambarnya sesuai imajinasi yang kau bawa dalam do'a-do'a.
Tapi hei... lukisanmu ternyata belum benar-benar selesai.
Kenapa tiba-tiba berhenti? Apakah pandanganmu kini mulai berubah kabur? Atau.. atau mungkin kamu sendiri sudah mulai lelah menerka rupa dari objek lukisanmu?
Seperti apakah sebenarnya dia? Bagaimanakah rupa wajahnya? Seceria apakah tawa yang dihadirkannya? Setinggi apakah postur tubuhnya? Bagaimanakah bentuk senyumnya di pagi hari? Dan semuanya tentang dia.. sang titik fokusmu pada lukisan kali ini.
Rasanya, aku ingin berjalan menghampirimu. Berbisik di telingamu sambil mengatakan "Jangan menyerah! Sang objek sedang menunggu hasil lukisanmu di depan sana. Jangan biarkan ia menjadi benar-benar abstrak. Perjelaslah! Tintamu masih cukup banyak untuk menyempurnakannya. Kau tahu itu kan?"
Tapi sayangnya, aku hanya berani memandangimu dari jauh.
Aku kehabisan rasa berani untuk benar-benar berbisik di telingamu dan mengatakan itu semua.
Aku tahu, kamu tak suka terusik. Apalagi jika diusik oleh orang sepertiku.
Maka akupun berlari dari arahmu.
Berlari... berlari...
Lalu kemudian berbalik menuju kearahnya. Sang titik fokus lukisanmu.
Aku mendekatinya perlahan. Dengan diam dan pelan-pelan agar titik fokusmu tak terusik oleh kedatangnku. Aku takut dia sepertimu, tak suka jika didekati oleh sembarang orang.
Tapi lihatlah, nyatanya dia tidak sepertimu.
Dia yang sedang duduk diantara daun kuning musim gugur itu justru menyambutku dengan baik.
Dengan seulas senyum yang tak pernah kamu tahu, dia mempersilahkanku duduk bersamanya. Duduk diantara dedaunan yang jatuh tertiup angin.
Hei kamu.. apa yang sedang kamu lakukan sendiri di sini? Aku kini memberanikan diri untuk bertanya. Sesuatu yang juga dapat menjawab rasa penasaranmu tentu saja.
Lalu dengan senyum tipis yang tergurat diantara kedua bibirnya, diapun menjawab pertanyaanku.
"Aku? Aku sedang menunggu lukisanku jadi. Itu saja"
Masihkah buram dan samar yang mendominasinya?
Kabarnya kamu punya cara tersendiri yang akupun bahkan tak diberi tahu.
Kamu, yang katanya punya sejuta pandang berbeda, menggerakkan kuas bukan hanya dengan jemari, tapi juga hati.
Tintanya sendiri kamu pilihkan bukan dari yang biasa, tapi birunya langit, juga laut.
Sesuatu yang bahkan kamu tahu dengan pasti, ia tak pernah habis terguras waktu.
Aku mencermati raut seriusmu dalam imajinasi.
Kita yang tak pernah bertatap muka, tak pernah bertegur sapa, tak pernah bertemu suara, seringkali dianggap remeh oleh mereka-mereka yang tak mengerti.
Katanya, bagaimana mungkin kamu melukis sesuatu tanpa sosoknya yang nyata?
Apa mungkin kamu bisa mengenali rupa yang bahkan tak pernah kamu jumpai sebelumnya?
Sayangnya, kamu tak tergubris sekalipun oleh itu.
Lalu dengan senyum tipis yang tergurat diantara kedua bibirmu, kamu kembali menegaskan sekali lagi. "Like painting abstract, she's different form other". Itu katamu.
Dan kamu, yang tak pernah merisaukan hal ini akan tetap asik melukiskan gambarnya sesuai imajinasi yang kau bawa dalam do'a-do'a.
Tapi hei... lukisanmu ternyata belum benar-benar selesai.
Kenapa tiba-tiba berhenti? Apakah pandanganmu kini mulai berubah kabur? Atau.. atau mungkin kamu sendiri sudah mulai lelah menerka rupa dari objek lukisanmu?
Seperti apakah sebenarnya dia? Bagaimanakah rupa wajahnya? Seceria apakah tawa yang dihadirkannya? Setinggi apakah postur tubuhnya? Bagaimanakah bentuk senyumnya di pagi hari? Dan semuanya tentang dia.. sang titik fokusmu pada lukisan kali ini.
Rasanya, aku ingin berjalan menghampirimu. Berbisik di telingamu sambil mengatakan "Jangan menyerah! Sang objek sedang menunggu hasil lukisanmu di depan sana. Jangan biarkan ia menjadi benar-benar abstrak. Perjelaslah! Tintamu masih cukup banyak untuk menyempurnakannya. Kau tahu itu kan?"
Tapi sayangnya, aku hanya berani memandangimu dari jauh.
Aku kehabisan rasa berani untuk benar-benar berbisik di telingamu dan mengatakan itu semua.
Aku tahu, kamu tak suka terusik. Apalagi jika diusik oleh orang sepertiku.
Maka akupun berlari dari arahmu.
Berlari... berlari...
Lalu kemudian berbalik menuju kearahnya. Sang titik fokus lukisanmu.
Aku mendekatinya perlahan. Dengan diam dan pelan-pelan agar titik fokusmu tak terusik oleh kedatangnku. Aku takut dia sepertimu, tak suka jika didekati oleh sembarang orang.
Tapi lihatlah, nyatanya dia tidak sepertimu.
Dia yang sedang duduk diantara daun kuning musim gugur itu justru menyambutku dengan baik.
Dengan seulas senyum yang tak pernah kamu tahu, dia mempersilahkanku duduk bersamanya. Duduk diantara dedaunan yang jatuh tertiup angin.
Hei kamu.. apa yang sedang kamu lakukan sendiri di sini? Aku kini memberanikan diri untuk bertanya. Sesuatu yang juga dapat menjawab rasa penasaranmu tentu saja.
Lalu dengan senyum tipis yang tergurat diantara kedua bibirnya, diapun menjawab pertanyaanku.
"Aku? Aku sedang menunggu lukisanku jadi. Itu saja"
Comments
Post a Comment